Thursday, December 3, 2015


PROSES PANJANG SELEKSI PESAWAT TERBANG Dalam proses pembelian pesawat terbang sering terjadi polemik. Polemik biasa terjadi antara skadron pengguna, pengelola anggaran, skadron perawatan, dan tentunya pihak legislatif yang sering pula terlibat dalam unsur kontrol penggunaan anggarannya. Kali ini yang sedang hangat diperbincangkan adalah tentang pembelian helikopter AW-101 (Agusta Westland 101). Mengapa ini dipilih dan kenapa kemudian menjadi polemik, kita telaah dulu latar belakangnya. Saya yang dulu pernah bekerja di IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia) memiliki pengalaman menarik tentang hal tersebut. Pada tahun 1995, PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) berusaha merebut pasar RAAF (Royal Australian Air Force) untuk mengirimkan dua skadron pesawat CN-235. Pesawat buatan IPTN ini memang dianggap tepat sebagai pengganti pesawat De Haviland Caribou buatan Kanada, yang saat itu sudah dianggap uzur; sudah 35 tahun. Demo flight kami lakukan di Australia. Beberapa kota, termasuk beberapa pangkalan dan skadron, kami datangi untuk menunjukkan keandalan CN-235. Demo flight itu meliputi unprepared runway operation, yaitu kami diminta mendarat dan tinggal landas di jalan-jalan di gurun. Orang Australia biasa menyebut jalan-jalan tersebut sebagai “beef track”, jalur mereka membawa ternak ke daerah lain atau ke kota lain. Flight assessment pihak Australia benar-benar menyeluruh, meliputi seluruh area atau spektrum operasional mereka. Kami juga melakukan logistic transport, meliputi heavy cargo drop, LAPES (Low Altitude Parachute Extraciin System), yang dilakukan di AMTDU (Air Mobile Transportation and Development Unit ) di Richmond Airforce Base. Bukan cuma itu, kami diminta pula Free Fall Troop Jump dengan special force Australia di Nowra, yang merupakan air base terbesar penerbangan Angkatan Laut Australia , dan dilakukan beberapa sorti. Selama sekitar lima minggu kami mengunjungi pangkalan udara penting di Australia, antara lain, Darwin, Townsville, Amberley, Richmond, dan Nowra, termasuk menunjukkan kebolehan di Avalon Airshow di Melbourne selama seminggu. Sebelum kembali ke tanah air, kami masih mengunjungi Edinburg Airbase di Adelaide. Di sini kami harus menjalani Engineering Flight Assessment yang dilakukan oleh ARDU (Air Research and Development Unit ) Australia. Di sinilah dilakukan evaluasi yang lebih bersifat engineering approach di samping aspek operasionalnya. Tim uji terbang ARDU yang dipimpin oleh Sqd Leader Dutchy Holand melakukan flight assessment dalam tiga hari, meliputi performa pesawat, flying quality, aircraft system, juga NVG (Night Vision Gogle) Compatibility untuk keperluan operasi malam hari. Seluruh laporan dan komentar dari seluruh skadron yang melakukan flight assessment CN-235 dipusatkan di kantor Caribou Replacement Project di kantor Kementerian Pertahanan (Ministry of Defence) di Canbera. Lulusan pilot uji Saat itu, Erwin Danuwinata (almarhum) dan saya adalah pilot yang ditugaskan untuk menjalankan tugas di Australia tersebut. Erwin merupakan lulusan pilot uji (graduate test pilot) dari NTPS (National Test Pilot School) di Mojave, Calfornia, AS. Sementara saya adalah lulusan pilot uji dari ITPS (International Test Pilot School) di Cranfield, Inggris. Dalam menghadapi kegiatan flight assessment yang dilakukan oleh tim Australia, kami tidak merasa terkejut. Sebabnya, apa yang mereka lakukan, baik secara teknis maupun manajemen, tidak berbeda dengan apa yang kami dapatkan di sekolah pilot uji. Hasil dari flight assessment di Australia itu sangat positif. Pihak Australia sangat respek dengan kemampuan CN-235 (rencananya akan diproduksi CN-235-330), termasuk bagaimana IPTN menyikapi umpan balik dan masukan-masukan yang mereka sampaikan selama flight assessment. Dalam spesifikasi tender memang ada pula ketentuan, selain menyerahkan dua Skadron CN-235, IPTN harus bertanggung jawab mendukung logistik atau suku cadangnya selama 25 tahun ke depan. Di samping itu, masih ada lagi program offset yang harus dilakukan IPTN, yakni apa yang mereka sebut sebagai AII (Australia Industry Involvement). IPTN wajib melibatkan beberapa Industri Australia dalam proses produksi CN-235 untuk Australia tersebut, yang kemudian dikenal dengan kata sandi “Phoenix Project” Pada Februari 1997, kami sekali lagi berkunjung ke Avalon Airshow di Melbourne untuk mematangkan proyek tersebut. Sebagai kompetitor CN-235 saat itu adalah G-17 Alenia dari Italia dan CN-235 produksi CASA Spanyol. Namun RAAF dapat dikatakan sangat jatuh cinta kepada CN-235 IPTN. Alasannya, selain secara politis kita sedang dekat dengan Australia, secara teknis dan logistik pun lokasi menguntungkan. IPTN dalam jarak lebih dekat ke Australia –dibandingkan Italia dan Spanyol-- sehingga pasti lebih mudah berkomunikasi. Ternyata optimisme dalam perjuangan memasarkan produk IPTN ke negeri Kanguru pun buyar seketika akibat gejolak politik dan ekonomi di tanah air. Kondisi politik dan krisis moneter yang berkepanjangan memaksa IPTN menarik diri dari kompetisi tersebut. Pihak Kemenhan Australia sempat mempertanyakan masalah ini kepada IPTN. Bahkan konon sempat mempertanyakan pula sekiranya ada problem finansial yang dapat mereka bantu, mengingata mereka pun sudah melangkah demikian jauh dalam persiapan penggantian Caribou itu. Bagi IPTN memang tiada pilihan lain selain “melempar handuk putih” alias menyerah pada situasi kemelut yang waktu itu belum ada jalan keluarnya. Serius dan rumit Cerita tersebut sekadar menggambarkan bagaimana serius dan rumitnya suatu negara dalam melakukan pemilihan atau seleksi atas jenis pesawat terbang yang akan dibeli dan digunakan. Oleh sebab itu, kebanyakan negara-negara di dunia mempunya organisasi yang selalu siap melakukan assessment atau penilaian, juga evaluasi terhadap pesawat terbang yang akan dibeli dan digunakan. Melihat fungsi dan tugasnya, organisasi ini biasanya beranggotakan para lulusan pilot uji yang berkualifikasi (Qualified Graduate Test Pilot) dan enjinir uji terbang (Flight Test Engineer). Para pilot uji itu umumnya lulusan dari salah satu sekolah pilot uji (Test Pilot School) dunia, seperti Emperor Test Pilot School, Boscomb Down di Inggris; USNTPS (US Navy Test Pilot School) di Long Island, AS; EPNER-Istress di Perancis; Edwar USAF Test Pilot School di AS; National Test Pilot School di AS, dan International Test Pilot School di Inggris. Hampir setiap negara maju di dunia, termasuk Singapura, Malaysia, dan Saudi Arabia, setiap tahun secara rutin mengirimkan pilot mereka ke salah satu sekolah tersebut. Pengiriman pilot-pilot ke sekolah pilot uji di dunia bukan hanya dilakukan oleh negara-negara yang mempunyai produksi atau pabrik pesawat terbang, tapi negara-negara yang tidak mempunyai industri pesawat terbang pun melaksanakannya. Mengapa? Karena seorang pilot uji dalam kapasitasnya sebagai evaluator dapat bertugas melakukan evaluasi pada proses pemilihan pesawat terbang. Evaluasi itu dilakukan secara menyeluruh, meliputi performa atau kinerja pesawat, flying quality and handling quality, serta sistem persenjataan dan avionik. Tak lepas dari evaluasi tersebut tentunya juga tingkat kesulitan perawatannya, termasuk ketersediaan logistiknya.Hal terpenting lainnya adalah aspek finansial dari segi harga pembelian dan biaya perawatan. Tugas lain seorang pilot uji adalah melakukan terbang uji bagi pesawat terbang yang baru menjalani modifikasi-modifikasi, seperti sistem avionic dan sistem persenjataan. Betapa pentingnya fungsi tugas seorang pilot uji itu. Ironisnya di negeri tercinta Indonesia ini, belum ada satu angkatan pun yang pernah dikirimkan ke sekolah-sekolah pilot yang tadi disebutkan itu. Satu-satunya perwira TNI AU yang pernah mengikuti kursus singkat (short course) di NTPS adalah Marsma Djamhari, yang kemudian ditugaskan di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Pada saat terjadi polemik saat ini, tidak terlalu mengherankan kalau kemudian yang muncul ke permukaan adalah semata-mata aspek finansial dari segi harga dan sumber dana. Sementara itu, kajian teknis meliputi performa, flying quality, direct operating cost, dan kemudahan operasional, luput dari materi diskusi. Pemilihan atas AW-101 –pada awal pembuatannya disebut sebagai EH -101 (European Helicopter 101)-- memang sah-sah saja bilamana dilakukan oleh suatu negara yang secara finansial memang sangat mampu dan mumpuni. Saya memang pernah melakukan flight assessment pada pesawat tersebut, sebagai bagian dari salah satu Assessment Project saat belajar di ITPS di Inggris. EH-101 yang kami terbangkan saat itu merupakan produk patungan antara Westland Helicopter-Yovilton, Inggris, dan Westland Helicopter- Milan, Italia --sebutannya kemudian diganti menjadi Agusta Westland 101 (AW 101). Di kelasnya, dari segi avionik helikopter ini cukup canggih. Karena saat itu mereka sedang fokus pada EH-101 Naval Version/Anti-Submarine, maka dari mission equipment-nya pun sarat dengan peralatan anti-submarine warfare, pendeteksian kapal selam, dan sebagainya. Satu hal lagi, mengingat bahwa heli tersebut akan banyak dioperasikan dari kapal perang termasuk kapal induk, maka dipasanglah mekanikal yang cukup rumit dan berbasis sistem elektrikal. Mekanisme adalah yang dapat melipat baling-baling utama dan melipat tail boom agar dimensinya dapat dibuat seminimal mungkin dan memungkinkan penyimpanan di kapal. Ada masalah teknis lainnya, yang berdasarkan penilaian saya tidak ekonomis dan praktis secara operasional. AW-101 ini dilengkapi dengan tiga mesin CT 7 (semacam yang dipakai Black Hawk). Ketiga mesin ini digunakan pada saat lepas landas dan mendarat. Pertimbangannya adalah karena dengan dua mesin saja tidak akan mampu untuk melakukan lepas landas dan mendarat. Pada saat posisi cruise atau terbang meluncur, salah satu mesin dapat dimatikan, walaupun harnya mesin tertentu saja yang dapat dimatikan. Demikian pula pada saat mendarat, mesin tersebut harus dihidupkan kembali untuk memperkuat bekerjanya dua mesin yang jalan. Hal tersebut merupakan suatu bukti bahwa secara aerodinamis helikopter tersebut tidak cukup efisien, sehingga dirasa perlu untuk menambah mesin ketiga. Hal ini sangatlah tidak praktis. Belum lagi masa persiapan pada saat menjelang tinggal landas, yang menjadi cukup panjang. Menghidupkan tiga mesin sekaligus dan melakukan sinkronisasi tiga mesin tersebut. Dari segi biaya operasi langsung (direct operating cost) dapat dibandingkan konsumsi bahan bakar tiga mesin dan dua mesin, sehingga akan berpengaruh pula pada endurance (lama waktu) terbangnya. Secara teknologi sebenarnya masalah ini bukan merupakan hal baru. Di Indonesia pernah pula beroperasi helikopter dengan tiga mesin, yaitu Super Vrelon, yang pernah dioperasikan oleh PT Pelita Air Service dan sesaat pernah pula dioperasikan oleh AURI (TNI AU). Karena lebih banyak didasari oleh aspek ekonomisnya, maka tidak lama kemudian helikopter tersebut di-phase out. Aspek lainnya adalah dukungan logistik. Perlu diwaspadai, dukungan logistik dari manufaktur Westland, apakah secara jangka panjang mereka mampu menyediakannya? Mengingat terdengar pula keluhan dari beberapa pengguna produk lain dari produsen tersebut yang kini beroperasi di Indonesia yang mengalami kesulitan dalam masalah support logistiknya. Mugkin kita masih ingat ketika pada awal tahun 2000 an yang lalu, pemerintah Amerika berrencana meregenerasi Helicopter kepresidenan mereka yang biasa disebut sebagai US Marine One, jenis Sikorsky VH 3D dengan jenis yang lebih modern dan canggih. Dari evaluasi dan seleksi awal jatuhlah pilihan pada EH-101. Sebagai pemenuhan standard prosedur mereka maka dikirimkan salah satu Helicopter ke Amerika. Operational and technical evaluation, dilakukan oleh US Navy Test Pilot School ( USNTPS di Patuxent River, Long Island USA ). Selama beberapa bulan, dilakukanlah evaluasi menyeluruh meliputi teknis operational, perawatan teknis, tingkat security dll. Setelah melalui seluruh tahapan evaluasi termasuk budget review oleh senat dan sebagainya, diputuskan bahwa jenis Helicopter EH-101 ( AW-101 ), tidak cocok untuk digunakan sebagai Helicopter kepresidenan US Marine One. Menurut rumor yang ada konon salah satu aspek yang mempengaruhi juga adalah sentiment kebangsaan mereka. Mengapa harus menggunakan produk Eropa? Padahal industru aviasi Amerika pun masih mampu yaitu salah satunya Pabrik Sikorsky. Untuk pembatalan ini ternyata pemerintah Amerika pun harus dihadapkan pada konsekwensi budget yang tidak kecil. Untuk kasus di Indonesia, mengingat bahwa heli tersebut akan digunakan oleh para VVIP dan diharapkan akan beroperasi dalam jangka panjang, serta yang terpenting harganya tidak terlalu murah, kita harus benar-benar berhati-hatu dan prudent (bijaksana) dalam menentukan pilihan ini. Libatkan para pakar atau ekspertis yang berkualifikasi dan memiliki kapabilitas tinggi untuk melakukan penilaian atau evaluasi secara wholistic terhadap objek pembelian tersebut. Ini mengingat bahwa seluruh bangsa yang akan menanggung hutang nya nanti. Penulis: Toos Sanitioso, Graduate Test Pilot Dalam proses pembelian pesawat terbang sering terjadi polemik. Polemik biasa terjadi antara skadron pengguna, pengelola anggaran, skadron perawatan, dan tentunya pihak legislatif yang sering pula terlibat dalam unsur kontrol penggunaan anggarannya. Kali ini yang sedang hangat diperbincangkan adalah tentang pembelian helikopter AW-101 (Agusta Westland 101). Mengapa ini dipilih dan kenapa kemudian menjadi polemik, kita telaah dulu latar belakangnya. Saya yang dulu pernah bekerja di IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia) memiliki pengalaman menarik tentang hal tersebut. Pada tahun 1995, PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) berusaha merebut pasar RAAF (Royal Australian Air Force) untuk mengirimkan dua skadron pesawat CN-235. Pesawat buatan IPTN ini memang dianggap tepat sebagai pengganti pesawat De Haviland Caribou buatan Kanada, yang saat itu sudah dianggap uzur; sudah 35 tahun. Demo flight kami lakukan di Australia. Beberapa kota, termasuk beberapa pangkalan dan skadron, kami datangi untuk menunjukkan keandalan CN-235. Demo flight itu meliputi unprepared runway operation, yaitu kami diminta mendarat dan tinggal landas di jalan-jalan di gurun. Orang Australia biasa menyebut jalan-jalan tersebut sebagai “beef track”, jalur mereka membawa ternak ke daerah lain atau ke kota lain. Flight assessment pihak Australia benar-benar menyeluruh, meliputi seluruh area atau spektrum operasional mereka. Kami juga melakukan logistic transport, meliputi heavy cargo drop, LAPES (Low Altitude Parachute Extraciin System), yang dilakukan di AMTDU (Air Mobile Transportation and Development Unit ) di Richmond Airforce Base. Bukan cuma itu, kami diminta pula Free Fall Troop Jump dengan special force Australia di Nowra, yang merupakan air base terbesar penerbangan Angkatan Laut Australia , dan dilakukan beberapa sorti. Selama sekitar lima minggu kami mengunjungi pangkalan udara penting di Australia, antara lain, Darwin, Townsville, Amberley, Richmond, dan Nowra, termasuk menunjukkan kebolehan di Avalon Airshow di Melbourne selama seminggu. Sebelum kembali ke tanah air, kami masih mengunjungi Edinburg Airbase di Adelaide. Di sini kami harus menjalani Engineering Flight Assessment yang dilakukan oleh ARDU (Air Research and Development Unit ) Australia. Di sinilah dilakukan evaluasi yang lebih bersifat engineering approach di samping aspek operasionalnya. Tim uji terbang ARDU yang dipimpin oleh Sqd Leader Dutchy Holand melakukan flight assessment dalam tiga hari, meliputi performa pesawat, flying quality, aircraft system, juga NVG (Night Vision Gogle) Compatibility untuk keperluan operasi malam hari. Seluruh laporan dan komentar dari seluruh skadron yang melakukan flight assessment CN-235 dipusatkan di kantor Caribou Replacement Project di kantor Kementerian Pertahanan (Ministry of Defence) di Canbera. Lulusan pilot uji Saat itu, Erwin Danuwinata (almarhum) dan saya adalah pilot yang ditugaskan untuk menjalankan tugas di Australia tersebut. Erwin merupakan lulusan pilot uji (graduate test pilot) dari NTPS (National Test Pilot School) di Mojave, Calfornia, AS. Sementara saya adalah lulusan pilot uji dari ITPS (International Test Pilot School) di Cranfield, Inggris. Dalam menghadapi kegiatan flight assessment yang dilakukan oleh tim Australia, kami tidak merasa terkejut. Sebabnya, apa yang mereka lakukan, baik secara teknis maupun manajemen, tidak berbeda dengan apa yang kami dapatkan di sekolah pilot uji. Hasil dari flight assessment di Australia itu sangat positif. Pihak Australia sangat respek dengan kemampuan CN-235 (rencananya akan diproduksi CN-235-330), termasuk bagaimana IPTN menyikapi umpan balik dan masukan-masukan yang mereka sampaikan selama flight assessment. Dalam spesifikasi tender memang ada pula ketentuan, selain menyerahkan dua Skadron CN-235, IPTN harus bertanggung jawab mendukung logistik atau suku cadangnya selama 25 tahun ke depan. Di samping itu, masih ada lagi program offset yang harus dilakukan IPTN, yakni apa yang mereka sebut sebagai AII (Australia Industry Involvement). IPTN wajib melibatkan beberapa Industri Australia dalam proses produksi CN-235 untuk Australia tersebut, yang kemudian dikenal dengan kata sandi “Phoenix Project” Pada Februari 1997, kami sekali lagi berkunjung ke Avalon Airshow di Melbourne untuk mematangkan proyek tersebut. Sebagai kompetitor CN-235 saat itu adalah G-17 Alenia dari Italia dan CN-235 produksi CASA Spanyol. Namun RAAF dapat dikatakan sangat jatuh cinta kepada CN-235 IPTN. Alasannya, selain secara politis kita sedang dekat dengan Australia, secara teknis dan logistik pun lokasi menguntungkan. IPTN dalam jarak lebih dekat ke Australia –dibandingkan Italia dan Spanyol-- sehingga pasti lebih mudah berkomunikasi. Ternyata optimisme dalam perjuangan memasarkan produk IPTN ke negeri Kanguru pun buyar seketika akibat gejolak politik dan ekonomi di tanah air. Kondisi politik dan krisis moneter yang berkepanjangan memaksa IPTN menarik diri dari kompetisi tersebut. Pihak Kemenhan Australia sempat mempertanyakan masalah ini kepada IPTN. Bahkan konon sempat mempertanyakan pula sekiranya ada problem finansial yang dapat mereka bantu, mengingata mereka pun sudah melangkah demikian jauh dalam persiapan penggantian Caribou itu. Bagi IPTN memang tiada pilihan lain selain “melempar handuk putih” alias menyerah pada situasi kemelut yang waktu itu belum ada jalan keluarnya. Serius dan rumit Cerita tersebut sekadar menggambarkan bagaimana serius dan rumitnya suatu negara dalam melakukan pemilihan atau seleksi atas jenis pesawat terbang yang akan dibeli dan digunakan. Oleh sebab itu, kebanyakan negara-negara di dunia mempunya organisasi yang selalu siap melakukan assessment atau penilaian, juga evaluasi terhadap pesawat terbang yang akan dibeli dan digunakan. Melihat fungsi dan tugasnya, organisasi ini biasanya beranggotakan para lulusan pilot uji yang berkualifikasi (Qualified Graduate Test Pilot) dan enjinir uji terbang (Flight Test Engineer). Para pilot uji itu umumnya lulusan dari salah satu sekolah pilot uji (Test Pilot School) dunia, seperti Emperor Test Pilot School, Boscomb Down di Inggris; USNTPS (US Navy Test Pilot School) di Long Island, AS; EPNER-Istress di Perancis; Edwar USAF Test Pilot School di AS; National Test Pilot School di AS, dan International Test Pilot School di Inggris. Hampir setiap negara maju di dunia, termasuk Singapura, Malaysia, dan Saudi Arabia, setiap tahun secara rutin mengirimkan pilot mereka ke salah satu sekolah tersebut. Pengiriman pilot-pilot ke sekolah pilot uji di dunia bukan hanya dilakukan oleh negara-negara yang mempunyai produksi atau pabrik pesawat terbang, tapi negara-negara yang tidak mempunyai industri pesawat terbang pun melaksanakannya. Mengapa? Karena seorang pilot uji dalam kapasitasnya sebagai evaluator dapat bertugas melakukan evaluasi pada proses pemilihan pesawat terbang. Evaluasi itu dilakukan secara menyeluruh, meliputi performa atau kinerja pesawat, flying quality and handling quality, serta sistem persenjataan dan avionik. Tak lepas dari evaluasi tersebut tentunya juga tingkat kesulitan perawatannya, termasuk ketersediaan logistiknya.Hal terpenting lainnya adalah aspek finansial dari segi harga pembelian dan biaya perawatan. Tugas lain seorang pilot uji adalah melakukan terbang uji bagi pesawat terbang yang baru menjalani modifikasi-modifikasi, seperti sistem avionic dan sistem persenjataan. Betapa pentingnya fungsi tugas seorang pilot uji itu. Ironisnya di negeri tercinta Indonesia ini, belum ada satu angkatan pun yang pernah dikirimkan ke sekolah-sekolah pilot yang tadi disebutkan itu. Satu-satunya perwira TNI AU yang pernah mengikuti kursus singkat (short course) di NTPS adalah Marsma Djamhari, yang kemudian ditugaskan di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Pada saat terjadi polemik saat ini, tidak terlalu mengherankan kalau kemudian yang muncul ke permukaan adalah semata-mata aspek finansial dari segi harga dan sumber dana. Sementara itu, kajian teknis meliputi performa, flying quality, direct operating cost, dan kemudahan operasional, luput dari materi diskusi. Pemilihan atas AW-101 –pada awal pembuatannya disebut sebagai EH -101 (European Helicopter 101)-- memang sah-sah saja bilamana dilakukan oleh suatu negara yang secara finansial memang sangat mampu dan mumpuni. Saya memang pernah melakukan flight assessment pada pesawat tersebut, sebagai bagian dari salah satu Assessment Project saat belajar di ITPS di Inggris. EH-101 yang kami terbangkan saat itu merupakan produk patungan antara Westland Helicopter-Yovilton, Inggris, dan Westland Helicopter- Milan, Italia --sebutannya kemudian diganti menjadi Agusta Westland 101 (AW 101). Di kelasnya, dari segi avionik helikopter ini cukup canggih. Karena saat itu mereka sedang fokus pada EH-101 Naval Version/Anti-Submarine, maka dari mission equipment-nya pun sarat dengan peralatan anti-submarine warfare, pendeteksian kapal selam, dan sebagainya. Satu hal lagi, mengingat bahwa heli tersebut akan banyak dioperasikan dari kapal perang termasuk kapal induk, maka dipasanglah mekanikal yang cukup rumit dan berbasis sistem elektrikal. Mekanisme adalah yang dapat melipat baling-baling utama dan melipat tail boom agar dimensinya dapat dibuat seminimal mungkin dan memungkinkan penyimpanan di kapal. Ada masalah teknis lainnya, yang berdasarkan penilaian saya tidak ekonomis dan praktis secara operasional. AW-101 ini dilengkapi dengan tiga mesin CT 7 (semacam yang dipakai Black Hawk). Ketiga mesin ini digunakan pada saat lepas landas dan mendarat. Pertimbangannya adalah karena dengan dua mesin saja tidak akan mampu untuk melakukan lepas landas dan mendarat. Pada saat posisi cruise atau terbang meluncur, salah satu mesin dapat dimatikan, walaupun harnya mesin tertentu saja yang dapat dimatikan. Demikian pula pada saat mendarat, mesin tersebut harus dihidupkan kembali untuk memperkuat bekerjanya dua mesin yang jalan. Hal tersebut merupakan suatu bukti bahwa secara aerodinamis helikopter tersebut tidak cukup efisien, sehingga dirasa perlu untuk menambah mesin ketiga. Hal ini sangatlah tidak praktis. Belum lagi masa persiapan pada saat menjelang tinggal landas, yang menjadi cukup panjang. Menghidupkan tiga mesin sekaligus dan melakukan sinkronisasi tiga mesin tersebut. Dari segi biaya operasi langsung (direct operating cost) dapat dibandingkan konsumsi bahan bakar tiga mesin dan dua mesin, sehingga akan berpengaruh pula pada endurance (lama waktu) terbangnya. Secara teknologi sebenarnya masalah ini bukan merupakan hal baru. Di Indonesia pernah pula beroperasi helikopter dengan tiga mesin, yaitu Super Vrelon, yang pernah dioperasikan oleh PT Pelita Air Service dan sesaat pernah pula dioperasikan oleh AURI (TNI AU). Karena lebih banyak didasari oleh aspek ekonomisnya, maka tidak lama kemudian helikopter tersebut di-phase out. Aspek lainnya adalah dukungan logistik. Perlu diwaspadai, dukungan logistik dari manufaktur Westland, apakah secara jangka panjang mereka mampu menyediakannya? Mengingat terdengar pula keluhan dari beberapa pengguna produk lain dari produsen tersebut yang kini beroperasi di Indonesia yang mengalami kesulitan dalam masalah support logistiknya. Mugkin kita masih ingat ketika pada awal tahun 2000 an yang lalu, pemerintah Amerika berrencana meregenerasi Helicopter kepresidenan mereka yang biasa disebut sebagai US Marine One, jenis Sikorsky VH 3D dengan jenis yang lebih modern dan canggih. Dari evaluasi dan seleksi awal jatuhlah pilihan pada EH-101. Sebagai pemenuhan standard prosedur mereka maka dikirimkan salah satu Helicopter ke Amerika. Operational and technical evaluation, dilakukan oleh US Navy Test Pilot School ( USNTPS di Patuxent River, Long Island USA ). Selama beberapa bulan, dilakukanlah evaluasi menyeluruh meliputi teknis operational, perawatan teknis, tingkat security dll. Setelah melalui seluruh tahapan evaluasi termasuk budget review oleh senat dan sebagainya, diputuskan bahwa jenis Helicopter EH-101 ( AW-101 ), tidak cocok untuk digunakan sebagai Helicopter kepresidenan US Marine One. Menurut rumor yang ada konon salah satu aspek yang mempengaruhi juga adalah sentiment kebangsaan mereka. Mengapa harus menggunakan produk Eropa? Padahal industru aviasi Amerika pun masih mampu yaitu salah satunya Pabrik Sikorsky. Untuk pembatalan ini ternyata pemerintah Amerika pun harus dihadapkan pada konsekwensi budget yang tidak kecil. Untuk kasus di Indonesia, mengingat bahwa heli tersebut akan digunakan oleh para VVIP dan diharapkan akan beroperasi dalam jangka panjang, serta yang terpenting harganya tidak terlalu murah, kita harus benar-benar berhati-hatu dan prudent (bijaksana) dalam menentukan pilihan ini. Libatkan para pakar atau ekspertis yang berkualifikasi dan memiliki kapabilitas tinggi untuk melakukan penilaian atau evaluasi secara wholistic terhadap objek pembelian tersebut. Ini mengingat bahwa seluruh bangsa yang akan menanggung hutang nya nanti. Penulis: Toos Sanitioso, Graduate Test Pilot