Thursday, December 3, 2015


PROSES PANJANG SELEKSI PESAWAT TERBANG Dalam proses pembelian pesawat terbang sering terjadi polemik. Polemik biasa terjadi antara skadron pengguna, pengelola anggaran, skadron perawatan, dan tentunya pihak legislatif yang sering pula terlibat dalam unsur kontrol penggunaan anggarannya. Kali ini yang sedang hangat diperbincangkan adalah tentang pembelian helikopter AW-101 (Agusta Westland 101). Mengapa ini dipilih dan kenapa kemudian menjadi polemik, kita telaah dulu latar belakangnya. Saya yang dulu pernah bekerja di IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia) memiliki pengalaman menarik tentang hal tersebut. Pada tahun 1995, PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) berusaha merebut pasar RAAF (Royal Australian Air Force) untuk mengirimkan dua skadron pesawat CN-235. Pesawat buatan IPTN ini memang dianggap tepat sebagai pengganti pesawat De Haviland Caribou buatan Kanada, yang saat itu sudah dianggap uzur; sudah 35 tahun. Demo flight kami lakukan di Australia. Beberapa kota, termasuk beberapa pangkalan dan skadron, kami datangi untuk menunjukkan keandalan CN-235. Demo flight itu meliputi unprepared runway operation, yaitu kami diminta mendarat dan tinggal landas di jalan-jalan di gurun. Orang Australia biasa menyebut jalan-jalan tersebut sebagai “beef track”, jalur mereka membawa ternak ke daerah lain atau ke kota lain. Flight assessment pihak Australia benar-benar menyeluruh, meliputi seluruh area atau spektrum operasional mereka. Kami juga melakukan logistic transport, meliputi heavy cargo drop, LAPES (Low Altitude Parachute Extraciin System), yang dilakukan di AMTDU (Air Mobile Transportation and Development Unit ) di Richmond Airforce Base. Bukan cuma itu, kami diminta pula Free Fall Troop Jump dengan special force Australia di Nowra, yang merupakan air base terbesar penerbangan Angkatan Laut Australia , dan dilakukan beberapa sorti. Selama sekitar lima minggu kami mengunjungi pangkalan udara penting di Australia, antara lain, Darwin, Townsville, Amberley, Richmond, dan Nowra, termasuk menunjukkan kebolehan di Avalon Airshow di Melbourne selama seminggu. Sebelum kembali ke tanah air, kami masih mengunjungi Edinburg Airbase di Adelaide. Di sini kami harus menjalani Engineering Flight Assessment yang dilakukan oleh ARDU (Air Research and Development Unit ) Australia. Di sinilah dilakukan evaluasi yang lebih bersifat engineering approach di samping aspek operasionalnya. Tim uji terbang ARDU yang dipimpin oleh Sqd Leader Dutchy Holand melakukan flight assessment dalam tiga hari, meliputi performa pesawat, flying quality, aircraft system, juga NVG (Night Vision Gogle) Compatibility untuk keperluan operasi malam hari. Seluruh laporan dan komentar dari seluruh skadron yang melakukan flight assessment CN-235 dipusatkan di kantor Caribou Replacement Project di kantor Kementerian Pertahanan (Ministry of Defence) di Canbera. Lulusan pilot uji Saat itu, Erwin Danuwinata (almarhum) dan saya adalah pilot yang ditugaskan untuk menjalankan tugas di Australia tersebut. Erwin merupakan lulusan pilot uji (graduate test pilot) dari NTPS (National Test Pilot School) di Mojave, Calfornia, AS. Sementara saya adalah lulusan pilot uji dari ITPS (International Test Pilot School) di Cranfield, Inggris. Dalam menghadapi kegiatan flight assessment yang dilakukan oleh tim Australia, kami tidak merasa terkejut. Sebabnya, apa yang mereka lakukan, baik secara teknis maupun manajemen, tidak berbeda dengan apa yang kami dapatkan di sekolah pilot uji. Hasil dari flight assessment di Australia itu sangat positif. Pihak Australia sangat respek dengan kemampuan CN-235 (rencananya akan diproduksi CN-235-330), termasuk bagaimana IPTN menyikapi umpan balik dan masukan-masukan yang mereka sampaikan selama flight assessment. Dalam spesifikasi tender memang ada pula ketentuan, selain menyerahkan dua Skadron CN-235, IPTN harus bertanggung jawab mendukung logistik atau suku cadangnya selama 25 tahun ke depan. Di samping itu, masih ada lagi program offset yang harus dilakukan IPTN, yakni apa yang mereka sebut sebagai AII (Australia Industry Involvement). IPTN wajib melibatkan beberapa Industri Australia dalam proses produksi CN-235 untuk Australia tersebut, yang kemudian dikenal dengan kata sandi “Phoenix Project” Pada Februari 1997, kami sekali lagi berkunjung ke Avalon Airshow di Melbourne untuk mematangkan proyek tersebut. Sebagai kompetitor CN-235 saat itu adalah G-17 Alenia dari Italia dan CN-235 produksi CASA Spanyol. Namun RAAF dapat dikatakan sangat jatuh cinta kepada CN-235 IPTN. Alasannya, selain secara politis kita sedang dekat dengan Australia, secara teknis dan logistik pun lokasi menguntungkan. IPTN dalam jarak lebih dekat ke Australia –dibandingkan Italia dan Spanyol-- sehingga pasti lebih mudah berkomunikasi. Ternyata optimisme dalam perjuangan memasarkan produk IPTN ke negeri Kanguru pun buyar seketika akibat gejolak politik dan ekonomi di tanah air. Kondisi politik dan krisis moneter yang berkepanjangan memaksa IPTN menarik diri dari kompetisi tersebut. Pihak Kemenhan Australia sempat mempertanyakan masalah ini kepada IPTN. Bahkan konon sempat mempertanyakan pula sekiranya ada problem finansial yang dapat mereka bantu, mengingata mereka pun sudah melangkah demikian jauh dalam persiapan penggantian Caribou itu. Bagi IPTN memang tiada pilihan lain selain “melempar handuk putih” alias menyerah pada situasi kemelut yang waktu itu belum ada jalan keluarnya. Serius dan rumit Cerita tersebut sekadar menggambarkan bagaimana serius dan rumitnya suatu negara dalam melakukan pemilihan atau seleksi atas jenis pesawat terbang yang akan dibeli dan digunakan. Oleh sebab itu, kebanyakan negara-negara di dunia mempunya organisasi yang selalu siap melakukan assessment atau penilaian, juga evaluasi terhadap pesawat terbang yang akan dibeli dan digunakan. Melihat fungsi dan tugasnya, organisasi ini biasanya beranggotakan para lulusan pilot uji yang berkualifikasi (Qualified Graduate Test Pilot) dan enjinir uji terbang (Flight Test Engineer). Para pilot uji itu umumnya lulusan dari salah satu sekolah pilot uji (Test Pilot School) dunia, seperti Emperor Test Pilot School, Boscomb Down di Inggris; USNTPS (US Navy Test Pilot School) di Long Island, AS; EPNER-Istress di Perancis; Edwar USAF Test Pilot School di AS; National Test Pilot School di AS, dan International Test Pilot School di Inggris. Hampir setiap negara maju di dunia, termasuk Singapura, Malaysia, dan Saudi Arabia, setiap tahun secara rutin mengirimkan pilot mereka ke salah satu sekolah tersebut. Pengiriman pilot-pilot ke sekolah pilot uji di dunia bukan hanya dilakukan oleh negara-negara yang mempunyai produksi atau pabrik pesawat terbang, tapi negara-negara yang tidak mempunyai industri pesawat terbang pun melaksanakannya. Mengapa? Karena seorang pilot uji dalam kapasitasnya sebagai evaluator dapat bertugas melakukan evaluasi pada proses pemilihan pesawat terbang. Evaluasi itu dilakukan secara menyeluruh, meliputi performa atau kinerja pesawat, flying quality and handling quality, serta sistem persenjataan dan avionik. Tak lepas dari evaluasi tersebut tentunya juga tingkat kesulitan perawatannya, termasuk ketersediaan logistiknya.Hal terpenting lainnya adalah aspek finansial dari segi harga pembelian dan biaya perawatan. Tugas lain seorang pilot uji adalah melakukan terbang uji bagi pesawat terbang yang baru menjalani modifikasi-modifikasi, seperti sistem avionic dan sistem persenjataan. Betapa pentingnya fungsi tugas seorang pilot uji itu. Ironisnya di negeri tercinta Indonesia ini, belum ada satu angkatan pun yang pernah dikirimkan ke sekolah-sekolah pilot yang tadi disebutkan itu. Satu-satunya perwira TNI AU yang pernah mengikuti kursus singkat (short course) di NTPS adalah Marsma Djamhari, yang kemudian ditugaskan di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Pada saat terjadi polemik saat ini, tidak terlalu mengherankan kalau kemudian yang muncul ke permukaan adalah semata-mata aspek finansial dari segi harga dan sumber dana. Sementara itu, kajian teknis meliputi performa, flying quality, direct operating cost, dan kemudahan operasional, luput dari materi diskusi. Pemilihan atas AW-101 –pada awal pembuatannya disebut sebagai EH -101 (European Helicopter 101)-- memang sah-sah saja bilamana dilakukan oleh suatu negara yang secara finansial memang sangat mampu dan mumpuni. Saya memang pernah melakukan flight assessment pada pesawat tersebut, sebagai bagian dari salah satu Assessment Project saat belajar di ITPS di Inggris. EH-101 yang kami terbangkan saat itu merupakan produk patungan antara Westland Helicopter-Yovilton, Inggris, dan Westland Helicopter- Milan, Italia --sebutannya kemudian diganti menjadi Agusta Westland 101 (AW 101). Di kelasnya, dari segi avionik helikopter ini cukup canggih. Karena saat itu mereka sedang fokus pada EH-101 Naval Version/Anti-Submarine, maka dari mission equipment-nya pun sarat dengan peralatan anti-submarine warfare, pendeteksian kapal selam, dan sebagainya. Satu hal lagi, mengingat bahwa heli tersebut akan banyak dioperasikan dari kapal perang termasuk kapal induk, maka dipasanglah mekanikal yang cukup rumit dan berbasis sistem elektrikal. Mekanisme adalah yang dapat melipat baling-baling utama dan melipat tail boom agar dimensinya dapat dibuat seminimal mungkin dan memungkinkan penyimpanan di kapal. Ada masalah teknis lainnya, yang berdasarkan penilaian saya tidak ekonomis dan praktis secara operasional. AW-101 ini dilengkapi dengan tiga mesin CT 7 (semacam yang dipakai Black Hawk). Ketiga mesin ini digunakan pada saat lepas landas dan mendarat. Pertimbangannya adalah karena dengan dua mesin saja tidak akan mampu untuk melakukan lepas landas dan mendarat. Pada saat posisi cruise atau terbang meluncur, salah satu mesin dapat dimatikan, walaupun harnya mesin tertentu saja yang dapat dimatikan. Demikian pula pada saat mendarat, mesin tersebut harus dihidupkan kembali untuk memperkuat bekerjanya dua mesin yang jalan. Hal tersebut merupakan suatu bukti bahwa secara aerodinamis helikopter tersebut tidak cukup efisien, sehingga dirasa perlu untuk menambah mesin ketiga. Hal ini sangatlah tidak praktis. Belum lagi masa persiapan pada saat menjelang tinggal landas, yang menjadi cukup panjang. Menghidupkan tiga mesin sekaligus dan melakukan sinkronisasi tiga mesin tersebut. Dari segi biaya operasi langsung (direct operating cost) dapat dibandingkan konsumsi bahan bakar tiga mesin dan dua mesin, sehingga akan berpengaruh pula pada endurance (lama waktu) terbangnya. Secara teknologi sebenarnya masalah ini bukan merupakan hal baru. Di Indonesia pernah pula beroperasi helikopter dengan tiga mesin, yaitu Super Vrelon, yang pernah dioperasikan oleh PT Pelita Air Service dan sesaat pernah pula dioperasikan oleh AURI (TNI AU). Karena lebih banyak didasari oleh aspek ekonomisnya, maka tidak lama kemudian helikopter tersebut di-phase out. Aspek lainnya adalah dukungan logistik. Perlu diwaspadai, dukungan logistik dari manufaktur Westland, apakah secara jangka panjang mereka mampu menyediakannya? Mengingat terdengar pula keluhan dari beberapa pengguna produk lain dari produsen tersebut yang kini beroperasi di Indonesia yang mengalami kesulitan dalam masalah support logistiknya. Mugkin kita masih ingat ketika pada awal tahun 2000 an yang lalu, pemerintah Amerika berrencana meregenerasi Helicopter kepresidenan mereka yang biasa disebut sebagai US Marine One, jenis Sikorsky VH 3D dengan jenis yang lebih modern dan canggih. Dari evaluasi dan seleksi awal jatuhlah pilihan pada EH-101. Sebagai pemenuhan standard prosedur mereka maka dikirimkan salah satu Helicopter ke Amerika. Operational and technical evaluation, dilakukan oleh US Navy Test Pilot School ( USNTPS di Patuxent River, Long Island USA ). Selama beberapa bulan, dilakukanlah evaluasi menyeluruh meliputi teknis operational, perawatan teknis, tingkat security dll. Setelah melalui seluruh tahapan evaluasi termasuk budget review oleh senat dan sebagainya, diputuskan bahwa jenis Helicopter EH-101 ( AW-101 ), tidak cocok untuk digunakan sebagai Helicopter kepresidenan US Marine One. Menurut rumor yang ada konon salah satu aspek yang mempengaruhi juga adalah sentiment kebangsaan mereka. Mengapa harus menggunakan produk Eropa? Padahal industru aviasi Amerika pun masih mampu yaitu salah satunya Pabrik Sikorsky. Untuk pembatalan ini ternyata pemerintah Amerika pun harus dihadapkan pada konsekwensi budget yang tidak kecil. Untuk kasus di Indonesia, mengingat bahwa heli tersebut akan digunakan oleh para VVIP dan diharapkan akan beroperasi dalam jangka panjang, serta yang terpenting harganya tidak terlalu murah, kita harus benar-benar berhati-hatu dan prudent (bijaksana) dalam menentukan pilihan ini. Libatkan para pakar atau ekspertis yang berkualifikasi dan memiliki kapabilitas tinggi untuk melakukan penilaian atau evaluasi secara wholistic terhadap objek pembelian tersebut. Ini mengingat bahwa seluruh bangsa yang akan menanggung hutang nya nanti. Penulis: Toos Sanitioso, Graduate Test Pilot Dalam proses pembelian pesawat terbang sering terjadi polemik. Polemik biasa terjadi antara skadron pengguna, pengelola anggaran, skadron perawatan, dan tentunya pihak legislatif yang sering pula terlibat dalam unsur kontrol penggunaan anggarannya. Kali ini yang sedang hangat diperbincangkan adalah tentang pembelian helikopter AW-101 (Agusta Westland 101). Mengapa ini dipilih dan kenapa kemudian menjadi polemik, kita telaah dulu latar belakangnya. Saya yang dulu pernah bekerja di IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia) memiliki pengalaman menarik tentang hal tersebut. Pada tahun 1995, PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) berusaha merebut pasar RAAF (Royal Australian Air Force) untuk mengirimkan dua skadron pesawat CN-235. Pesawat buatan IPTN ini memang dianggap tepat sebagai pengganti pesawat De Haviland Caribou buatan Kanada, yang saat itu sudah dianggap uzur; sudah 35 tahun. Demo flight kami lakukan di Australia. Beberapa kota, termasuk beberapa pangkalan dan skadron, kami datangi untuk menunjukkan keandalan CN-235. Demo flight itu meliputi unprepared runway operation, yaitu kami diminta mendarat dan tinggal landas di jalan-jalan di gurun. Orang Australia biasa menyebut jalan-jalan tersebut sebagai “beef track”, jalur mereka membawa ternak ke daerah lain atau ke kota lain. Flight assessment pihak Australia benar-benar menyeluruh, meliputi seluruh area atau spektrum operasional mereka. Kami juga melakukan logistic transport, meliputi heavy cargo drop, LAPES (Low Altitude Parachute Extraciin System), yang dilakukan di AMTDU (Air Mobile Transportation and Development Unit ) di Richmond Airforce Base. Bukan cuma itu, kami diminta pula Free Fall Troop Jump dengan special force Australia di Nowra, yang merupakan air base terbesar penerbangan Angkatan Laut Australia , dan dilakukan beberapa sorti. Selama sekitar lima minggu kami mengunjungi pangkalan udara penting di Australia, antara lain, Darwin, Townsville, Amberley, Richmond, dan Nowra, termasuk menunjukkan kebolehan di Avalon Airshow di Melbourne selama seminggu. Sebelum kembali ke tanah air, kami masih mengunjungi Edinburg Airbase di Adelaide. Di sini kami harus menjalani Engineering Flight Assessment yang dilakukan oleh ARDU (Air Research and Development Unit ) Australia. Di sinilah dilakukan evaluasi yang lebih bersifat engineering approach di samping aspek operasionalnya. Tim uji terbang ARDU yang dipimpin oleh Sqd Leader Dutchy Holand melakukan flight assessment dalam tiga hari, meliputi performa pesawat, flying quality, aircraft system, juga NVG (Night Vision Gogle) Compatibility untuk keperluan operasi malam hari. Seluruh laporan dan komentar dari seluruh skadron yang melakukan flight assessment CN-235 dipusatkan di kantor Caribou Replacement Project di kantor Kementerian Pertahanan (Ministry of Defence) di Canbera. Lulusan pilot uji Saat itu, Erwin Danuwinata (almarhum) dan saya adalah pilot yang ditugaskan untuk menjalankan tugas di Australia tersebut. Erwin merupakan lulusan pilot uji (graduate test pilot) dari NTPS (National Test Pilot School) di Mojave, Calfornia, AS. Sementara saya adalah lulusan pilot uji dari ITPS (International Test Pilot School) di Cranfield, Inggris. Dalam menghadapi kegiatan flight assessment yang dilakukan oleh tim Australia, kami tidak merasa terkejut. Sebabnya, apa yang mereka lakukan, baik secara teknis maupun manajemen, tidak berbeda dengan apa yang kami dapatkan di sekolah pilot uji. Hasil dari flight assessment di Australia itu sangat positif. Pihak Australia sangat respek dengan kemampuan CN-235 (rencananya akan diproduksi CN-235-330), termasuk bagaimana IPTN menyikapi umpan balik dan masukan-masukan yang mereka sampaikan selama flight assessment. Dalam spesifikasi tender memang ada pula ketentuan, selain menyerahkan dua Skadron CN-235, IPTN harus bertanggung jawab mendukung logistik atau suku cadangnya selama 25 tahun ke depan. Di samping itu, masih ada lagi program offset yang harus dilakukan IPTN, yakni apa yang mereka sebut sebagai AII (Australia Industry Involvement). IPTN wajib melibatkan beberapa Industri Australia dalam proses produksi CN-235 untuk Australia tersebut, yang kemudian dikenal dengan kata sandi “Phoenix Project” Pada Februari 1997, kami sekali lagi berkunjung ke Avalon Airshow di Melbourne untuk mematangkan proyek tersebut. Sebagai kompetitor CN-235 saat itu adalah G-17 Alenia dari Italia dan CN-235 produksi CASA Spanyol. Namun RAAF dapat dikatakan sangat jatuh cinta kepada CN-235 IPTN. Alasannya, selain secara politis kita sedang dekat dengan Australia, secara teknis dan logistik pun lokasi menguntungkan. IPTN dalam jarak lebih dekat ke Australia –dibandingkan Italia dan Spanyol-- sehingga pasti lebih mudah berkomunikasi. Ternyata optimisme dalam perjuangan memasarkan produk IPTN ke negeri Kanguru pun buyar seketika akibat gejolak politik dan ekonomi di tanah air. Kondisi politik dan krisis moneter yang berkepanjangan memaksa IPTN menarik diri dari kompetisi tersebut. Pihak Kemenhan Australia sempat mempertanyakan masalah ini kepada IPTN. Bahkan konon sempat mempertanyakan pula sekiranya ada problem finansial yang dapat mereka bantu, mengingata mereka pun sudah melangkah demikian jauh dalam persiapan penggantian Caribou itu. Bagi IPTN memang tiada pilihan lain selain “melempar handuk putih” alias menyerah pada situasi kemelut yang waktu itu belum ada jalan keluarnya. Serius dan rumit Cerita tersebut sekadar menggambarkan bagaimana serius dan rumitnya suatu negara dalam melakukan pemilihan atau seleksi atas jenis pesawat terbang yang akan dibeli dan digunakan. Oleh sebab itu, kebanyakan negara-negara di dunia mempunya organisasi yang selalu siap melakukan assessment atau penilaian, juga evaluasi terhadap pesawat terbang yang akan dibeli dan digunakan. Melihat fungsi dan tugasnya, organisasi ini biasanya beranggotakan para lulusan pilot uji yang berkualifikasi (Qualified Graduate Test Pilot) dan enjinir uji terbang (Flight Test Engineer). Para pilot uji itu umumnya lulusan dari salah satu sekolah pilot uji (Test Pilot School) dunia, seperti Emperor Test Pilot School, Boscomb Down di Inggris; USNTPS (US Navy Test Pilot School) di Long Island, AS; EPNER-Istress di Perancis; Edwar USAF Test Pilot School di AS; National Test Pilot School di AS, dan International Test Pilot School di Inggris. Hampir setiap negara maju di dunia, termasuk Singapura, Malaysia, dan Saudi Arabia, setiap tahun secara rutin mengirimkan pilot mereka ke salah satu sekolah tersebut. Pengiriman pilot-pilot ke sekolah pilot uji di dunia bukan hanya dilakukan oleh negara-negara yang mempunyai produksi atau pabrik pesawat terbang, tapi negara-negara yang tidak mempunyai industri pesawat terbang pun melaksanakannya. Mengapa? Karena seorang pilot uji dalam kapasitasnya sebagai evaluator dapat bertugas melakukan evaluasi pada proses pemilihan pesawat terbang. Evaluasi itu dilakukan secara menyeluruh, meliputi performa atau kinerja pesawat, flying quality and handling quality, serta sistem persenjataan dan avionik. Tak lepas dari evaluasi tersebut tentunya juga tingkat kesulitan perawatannya, termasuk ketersediaan logistiknya.Hal terpenting lainnya adalah aspek finansial dari segi harga pembelian dan biaya perawatan. Tugas lain seorang pilot uji adalah melakukan terbang uji bagi pesawat terbang yang baru menjalani modifikasi-modifikasi, seperti sistem avionic dan sistem persenjataan. Betapa pentingnya fungsi tugas seorang pilot uji itu. Ironisnya di negeri tercinta Indonesia ini, belum ada satu angkatan pun yang pernah dikirimkan ke sekolah-sekolah pilot yang tadi disebutkan itu. Satu-satunya perwira TNI AU yang pernah mengikuti kursus singkat (short course) di NTPS adalah Marsma Djamhari, yang kemudian ditugaskan di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Pada saat terjadi polemik saat ini, tidak terlalu mengherankan kalau kemudian yang muncul ke permukaan adalah semata-mata aspek finansial dari segi harga dan sumber dana. Sementara itu, kajian teknis meliputi performa, flying quality, direct operating cost, dan kemudahan operasional, luput dari materi diskusi. Pemilihan atas AW-101 –pada awal pembuatannya disebut sebagai EH -101 (European Helicopter 101)-- memang sah-sah saja bilamana dilakukan oleh suatu negara yang secara finansial memang sangat mampu dan mumpuni. Saya memang pernah melakukan flight assessment pada pesawat tersebut, sebagai bagian dari salah satu Assessment Project saat belajar di ITPS di Inggris. EH-101 yang kami terbangkan saat itu merupakan produk patungan antara Westland Helicopter-Yovilton, Inggris, dan Westland Helicopter- Milan, Italia --sebutannya kemudian diganti menjadi Agusta Westland 101 (AW 101). Di kelasnya, dari segi avionik helikopter ini cukup canggih. Karena saat itu mereka sedang fokus pada EH-101 Naval Version/Anti-Submarine, maka dari mission equipment-nya pun sarat dengan peralatan anti-submarine warfare, pendeteksian kapal selam, dan sebagainya. Satu hal lagi, mengingat bahwa heli tersebut akan banyak dioperasikan dari kapal perang termasuk kapal induk, maka dipasanglah mekanikal yang cukup rumit dan berbasis sistem elektrikal. Mekanisme adalah yang dapat melipat baling-baling utama dan melipat tail boom agar dimensinya dapat dibuat seminimal mungkin dan memungkinkan penyimpanan di kapal. Ada masalah teknis lainnya, yang berdasarkan penilaian saya tidak ekonomis dan praktis secara operasional. AW-101 ini dilengkapi dengan tiga mesin CT 7 (semacam yang dipakai Black Hawk). Ketiga mesin ini digunakan pada saat lepas landas dan mendarat. Pertimbangannya adalah karena dengan dua mesin saja tidak akan mampu untuk melakukan lepas landas dan mendarat. Pada saat posisi cruise atau terbang meluncur, salah satu mesin dapat dimatikan, walaupun harnya mesin tertentu saja yang dapat dimatikan. Demikian pula pada saat mendarat, mesin tersebut harus dihidupkan kembali untuk memperkuat bekerjanya dua mesin yang jalan. Hal tersebut merupakan suatu bukti bahwa secara aerodinamis helikopter tersebut tidak cukup efisien, sehingga dirasa perlu untuk menambah mesin ketiga. Hal ini sangatlah tidak praktis. Belum lagi masa persiapan pada saat menjelang tinggal landas, yang menjadi cukup panjang. Menghidupkan tiga mesin sekaligus dan melakukan sinkronisasi tiga mesin tersebut. Dari segi biaya operasi langsung (direct operating cost) dapat dibandingkan konsumsi bahan bakar tiga mesin dan dua mesin, sehingga akan berpengaruh pula pada endurance (lama waktu) terbangnya. Secara teknologi sebenarnya masalah ini bukan merupakan hal baru. Di Indonesia pernah pula beroperasi helikopter dengan tiga mesin, yaitu Super Vrelon, yang pernah dioperasikan oleh PT Pelita Air Service dan sesaat pernah pula dioperasikan oleh AURI (TNI AU). Karena lebih banyak didasari oleh aspek ekonomisnya, maka tidak lama kemudian helikopter tersebut di-phase out. Aspek lainnya adalah dukungan logistik. Perlu diwaspadai, dukungan logistik dari manufaktur Westland, apakah secara jangka panjang mereka mampu menyediakannya? Mengingat terdengar pula keluhan dari beberapa pengguna produk lain dari produsen tersebut yang kini beroperasi di Indonesia yang mengalami kesulitan dalam masalah support logistiknya. Mugkin kita masih ingat ketika pada awal tahun 2000 an yang lalu, pemerintah Amerika berrencana meregenerasi Helicopter kepresidenan mereka yang biasa disebut sebagai US Marine One, jenis Sikorsky VH 3D dengan jenis yang lebih modern dan canggih. Dari evaluasi dan seleksi awal jatuhlah pilihan pada EH-101. Sebagai pemenuhan standard prosedur mereka maka dikirimkan salah satu Helicopter ke Amerika. Operational and technical evaluation, dilakukan oleh US Navy Test Pilot School ( USNTPS di Patuxent River, Long Island USA ). Selama beberapa bulan, dilakukanlah evaluasi menyeluruh meliputi teknis operational, perawatan teknis, tingkat security dll. Setelah melalui seluruh tahapan evaluasi termasuk budget review oleh senat dan sebagainya, diputuskan bahwa jenis Helicopter EH-101 ( AW-101 ), tidak cocok untuk digunakan sebagai Helicopter kepresidenan US Marine One. Menurut rumor yang ada konon salah satu aspek yang mempengaruhi juga adalah sentiment kebangsaan mereka. Mengapa harus menggunakan produk Eropa? Padahal industru aviasi Amerika pun masih mampu yaitu salah satunya Pabrik Sikorsky. Untuk pembatalan ini ternyata pemerintah Amerika pun harus dihadapkan pada konsekwensi budget yang tidak kecil. Untuk kasus di Indonesia, mengingat bahwa heli tersebut akan digunakan oleh para VVIP dan diharapkan akan beroperasi dalam jangka panjang, serta yang terpenting harganya tidak terlalu murah, kita harus benar-benar berhati-hatu dan prudent (bijaksana) dalam menentukan pilihan ini. Libatkan para pakar atau ekspertis yang berkualifikasi dan memiliki kapabilitas tinggi untuk melakukan penilaian atau evaluasi secara wholistic terhadap objek pembelian tersebut. Ini mengingat bahwa seluruh bangsa yang akan menanggung hutang nya nanti. Penulis: Toos Sanitioso, Graduate Test Pilot

Friday, June 1, 2012

TEST PILOT (1)

Mungkin masih banyak diantara kita semua yang belum sepenuhnya mengetahui tugas/fungsi seorang “ Test pilot” khususnya Factory Test Pilot. Terlebih dahulu disampaikan beberapa tingkatan Test Pilot menurut kualifikasinya: Maintenance Test Pilot, merupakan kualifikasi paling dasar seorang Test Pilot. Maintenance Test Pilot ini bertugas untuk melakukan Test Flight ( Uji Terbang) pada suatau pesawat terbang yang baru saja menyelesaikan suatu kegiatan perawatan routine di suatu fasilitas perawatan pesawat udara. Disini seorang Maintenance Test Pilot, dalam melakukan Test Flight (Terbang uji ), sekaligus dapat melakukan verifikasi bahwa semua parameter terbang: Engine Parameter, Flight Control Parameter, Avionics, semua didalam range yang ditentukan. Acuan parameternya adalah manual yang tersedia untuk jenis pesawat tersebut baik Maintenance Manual ( Manual perawatan) maupun Operations Manual ( Manual Operasi ). Mengingat bahwa Maintenace Test Flight ini dilakukan pada pesawat terbang yang sudah beroperasi sebelumnya, maka biasanya dipandang sebagai sesuatu aktifitas Test Flight yang rendah resikonya. Meskipun dari catatan yang ada, terjadi pula beberapa kecelakaan fatal yang terjadi saat melakukan Maintenance Test Flight. Masih kita ingat kecelakaan salah satu Casa 212 di Batam beberapa waktu yang lalu juga terjadi saat sedang melakukan Maintenance test flight, seusai menjalani perawatan teknis. Production Test Pilot, kualifikasi Production Test Pilot ini dibutuhkan oleh sebuah pabrik pesawat udara. Seorang Production Test Pilot diharapkan mampu melakukan uji terbang pada pesawat udara yang baru selesai di produksi oleh pabrik pesawat. Pada umumnya, skenario uji terbangnya terbagi menjadi beberapa program, yang dituangkan dalam suatu Production Flight Test Program. Diawali dengan initial Flight Test Program, pesawat terbang akan diterbangkan pada suatu corridor atau Test Area yang dianggap aman dari segi terain maupun cuaca. Ketinggianpun akan dipilih ketinggian yang cukup tinggi, untuk pesawat turboprop biasanya dipilih sekitar 10,000 feet, sehingga diharapkan memberikaan cukup keleluasaan bagi pilot bila berhadapan dengan situasi abmnormal yang harus di recover. Program demi program diselesaikan secara bertahap. Cepat atau lambatnya penyelesaian Production Test Flight ini tentunya banyak ditentukan oleh banyak atau tidaknya temuan pada saat melakukan Test Flght, dan tergantung lamanya waktu untuk perbaikannya. Bilamana seluruh proses terbang uji meliputi flight control, propulsi, performance pesawat telah selesai, program terakhir adalah merupakan verifikasi detail terhadap system pesawat secara keseluruhan. System yang harus di Test adalah: Avionics secara menyeluruh meliputi; Navigasi, Komunikasi, Environment control. Di beberapa industri pesawat di Eropa, production Test Flight ini biasa juga disebut Acceptance Test. Acuan berupa PFTP (Production Flight Test Program ) merupakan “Primbon” bagi para Production Test Pilot. PFTP dipakai sebagai acuan untuk meyakinkan bahwa seluruh pesawat yang diproduksi, mempunyai standard kualitas yang konsisten. Experimental Test Pilot. Merupakan kualifikasi tertinggi di bidang Uji terbang pesawat udara. Kualifikasi tersebut secara formal hanya bisa didapatkan dibeberapa Test Pilot School : ETPS (Emperor Test Pilot School ) dan International Test Pilot School di Inggris, EPNER di Istress-Perancis, USAF Test Pilot School di Edward AFB California, Amerika, US Navy Test Pilot School-Patuxent River-Amerika, National Test Pilot School, Mojave California –Amerika dan Rusiapun mempunyai lembaga tersendiri untuk mendidik calon Test Pilot mereka. Sebagai contoh: PTDI mengirimkan para Pilotnya ke National Test Pilot School dan International Test Pilot School. Sebagai persyaratan memasuki Test Pilot School, selain kemampuan terbang diatas rata2, seorang calon test pilot pilot juga diharapkan mempunyai latar belakan pendidikan engineering. Mengapa latar belakang engineering menjadi penting, karena dalam pendidikan yang berdurasi selama 12 sampai 15 bulan itu banyak sekali ditemui materi2 pelajaran dengan konten mathematic dan fisika yang cukup tinggi tingkatannya. Ada 4 tahapan di pendidikan test pilot yang masing2 lamanya sekitar 3 bulan kecuali untuk phase terakhir, agak lebih panjang karena dilanjutkan dengan Final Preview semacam Proyek akhir, biasanya disebut juga dengan Unknown Aircraft Project. Mengingat bahwa jenis pesawat yang harus diterbangkan selalu dirahasikan sampai hari “H” Pre Test Pilot School ( Semacam Matrikulasi ) untuk kualifikasi akademis maupun kualifikasi terbang. Pre TPS ini sekaligus juga merupakan media seleksi. Sehingga bila tidak bisa melampaui jenjang ini maka dengan terpaksa harus dropped out alias DO. Tahapan ke 2 adalah Performance, disini diajarkan bagaimana melakukan Test dan assessment untuk mendapatkan data performance atau kinerja dari suatu pesawat. Walaupun performance phase ini kelihatannya ringan, tetapi disini justru dituntuk kemampuan terbang secara akurat. Misalnya Pilot harus bisa terbang dengan akurasi/ toleransi kecepatan +/- 2 Knots, ketinggian +/- 10 feet. Semua itu memang diharuskan semata mata untuk mendapatkan akurasi data yang representative. Disinilah Test Pilot diajarkan untuk dapat membuat graphic2 : Level flight performance, Climb/descend performance, Turning performane, Field Performance dll. Tahapan ke 3 adalah Flight Control atau biasa disebut juga Handling Quality. Tahapan ini merupakan tahapan yang cukup ditakuti oleh para siswa Test Pilot School mengingat banyak sekali Control Theory yang padat theory mathematicnya. Ditahapan ini juga para Pilot diberikan bekal pengetahuan untuk menterjemahkan karakter suatu flight control dari yang sifatnya qualitas menjadi quantitas ataupun sebaliknya. Banyak sekali pelajaran dan latihan yang diberikan, untuk memperkaya kapabilitas melakukan control characteristic assessment baik pada pesawat terbang ataupun Simulator. Itulah sebabnya seorang siswa Test pilot umumnya di haruskan menerbangkan sampai 25 jenis Pesawat yang berbeda, selama pendidikan mereka. Dengan maksud untuk menambah cakrawala mereka dalam mengenal karakter pesawat yang sangat variatif. Phase pendidikan flying quality ini sering juga disebut Killer Phase, karena tidak sedikit Calon Test Pilot yang gagal melampaui tahapan ini dan kemudian dipulangkan ke kesatuan atau Negara nya masing2. Tahapan ke 4 adalah system, tahapan ini merupakan tahapan akhir dari syllabus Test Pilot School. Tahapan ini pada hakekatnya adalah merupakan integrasi dari materi materi yang telah didapatkan sebelumnya yang kemudian digabung dengan materi baru yakni, Avionics, ECS (Environment Control System), Bermacam2 Mission Task Equipment yang lain, termasuk persenjataan bagi Calon Test Pilot Militer. Tahapan System ini, dilanjutkan dengan proyek akhir, dimana seorang Calon Test Pilot berpartner dengan seorang Calon Flight Test engineer, diberikan satu jenis pesawat “ Unknown Aircraft “ untuk diterbangkan. Dalam 10 jam terbang yang dialokasikan, mereka harus dapat menghasilkan laporan mengenai kemampuan pesawat tersebut. Kinerja, maneuverability, kemampuan system peralatan. Assessment ini dilakukan dalam siang maupun malam hari. Setelah selesai dengan 10 jam terbang uji, mereka masih mempunyai 1 Minggu sampai 10 hari untuk menyusun final report. Hasilnya dipresentasikan dalam final presentation, yang biasanya dihadiri juga oleh para professor penguji dari luar sekolah. Setelah lulus dari Test Pilot School, seorang Experimental Test Pilot, diharapkan akan dapat menjembatani atau menterjemahkan bahasa operational menjadi bahasa engineering atau sebaliknya dari suatu operasi pesawat terbang. Sebagai contoh: Seorang designer flight control menemui kesulitan bilamana mendengar laporan dan harus meng interpretasi : “ Flight Controlnya terlalu lincah “. Seorang Test Pilot Tentunya akan menyampaikan dengan bahasa yang lebih teknis misalnya “ Rate of controlnya terlalu tinggi karena 20 derajat per detik” penyampaian semacam ini akan jauh lebih mudah di cerna oleh seorang design engineer. Sebagai seorang Experimental Test Pilot ia akan mampu untuk melakukan uji terbang pada pesawat hasil design baru yang belum pernah diterbangkan sama sekali sebelumnya. Contohnya adalah Alm Erwin Danuwinata dan Sumarwoto, pada saat menerbangkan N-250 buatan IPTN, saat itu adalah merupakan N-250 Experimental Test Flight. Selain sebagai Test Pilot pada suatu pabrik pesawat, banyak juga rekan2 Test Pilot militer maupun sipil yang tidak bekerja di bekerja di industri pesawat terbang. Tetapi mereka mempunyai tugas yang tidak kalah beratnya. Sebagai evaluator pilot, mereka mempunyai tugas untuk melakukan evaluasi/ assessment pada proses seleksi pesawat terbang yang akan dibeli oleh kesatuan militer ataupun airline mereka. Semua negara maju, pada umumnya akan melibatkan. evaluator pilot, pada proses selection sampai pembelian, proses acceptance suatu pesawat terbang. Apalagi pesawat tempur militer, dimana mereka harus meyakini bahwa mission equipment yang terpasang pada pesawat tempur tersebut memenuhi spesifikasi teknis/operasional yang telah ditetapkan. Sangat disayangkan bahwa belum ada satupun Pilot militer Indonesia yang pernah mengikuti pendidikan formal sebagai Experimental Test Pilot. Walaupun pernah ada 2 orang Test pilot yang kebetulan berasal dari TNI AU, tetapi mereka lebih berorientasi kepada mission task dan regulasi sipil. Sebab mereka dimaksudkan sebagai certification Test Pilot Direktorat Jendral Perhubungan Udara dalam rangka Proyek Sertifikasi N-250 yl. Disamping itu ada pula beberapa rekan pilot militer yang pernah mengikuti Maintenance Test Pilot Course di pabrik pesawat, dan kemudian qualified untuk melakukan Post Maintenance Test Flight. Sebenarnya betapa pentingnya Indonesia, mempunyai Pilot Militer yang dapat terlibat dalam proses pemilihan, penentuan Military specification suatu pesawat, penentuan mission task equipment dll. Meyakini bahwa apa yang kita beli sesuai dan memenuhi seluruh persyaratan kita. Mengingat bahwa alutsista Udara adalah merupakan asset yang amat sangat mahal. Apalagi Indonesia saat ini sudah memiliki IMAA ( Indonesia Military Airworthines Authority) Badan kelaikan udara militer Indonesia. Sehingga sudah tepat waktunya TNI dapat mengikut sertakan penerbang pilihamnnya ke salah satu Formal Test Pilot School Untuk memperkenalkan produk suatu pabrik pesawat terbang, seringkali Test Pilot juga dibebani tugas promosi berupa misi2 seperti: Demo Flight, dimana demo flight yang dikenal selama ini terbagi beberapa klasifikasi. Demo Flight yang berbentuk Dynamic Show, Test Pilot dan Flight Crew lain yang sangat terbatas, melakukan manuver2 termasuk manuver yang critical. Dengan maksud memperlihatkan kepada calon customer ataupun khalayak ramai seperti pada Airshow, kemampuan serta keunggulan pesawat tersebut. Dalam kegiatan semacam ini Test Crew dilengkapi dengan emergency equipment seperti : Helmet, Parachute dsb, unuk mengantisipasi keadaan terburuk. Mengingat bahwa manuver yang dilakukan sangat critical, maka tidak ada penumpang lain yang diperkenankan onboard dan areanyapun sudah tertentu di area sekitar airport. Ada pula demo flight yang biasanya disebut customer demo, atau joy ride. Dalam customer demo semacam ini, intensinya lebih banyak menunjukan “ Ride quality “ dari suatu pesawat misalnya tingkat kerendahan goncangan, getaran dan kebisingan pesawat tersebut. Dari pengalaman kami sewaktu di PT DI, saat melakukan Demo Flight di beberapa Negara termasuk Australia, UAE dan Pakistan memang ada beberapa hal yang selalu menjadi penekanan bagi kami sendiri yaitu “ Don’t get exited” Meskipun kita antar Test Crew selalu berusaha saling mengingatkan, tetapi sebagai “Human Beeing” berkali kali kami sendiri dengan mudahnya terjebak dalam situasi “Exited” Bahkan dalam situasi demikian, kami sering merasa bahwa kami adalah Test Pilot handal yang mengetahui secara detail tentang seluk beluk serta karakter pesawat kami saat itu baik CN-235 maupun N-250. “ I am the master of the aircraft” terkadang membawa kami pada situasi yang mengarah kepada kondisi “Over Confidence” terlalu percaya pada diri sendiri, yang ujung2 nya bias mengarah kepada suatu unsafe situation. Terus terang saja sering kali kami kurang waspada terhadap situasi lingkungan/ environment di negeri orang. Bersyukur kami masih mau menyadari hal ini sehingga biasanya kami menyertakan seorang Pilot local sebagai Safety Pilot dalam melakukan Demo Flight. Pilot local ini akan sangat membantu kami selama beroperasi dinegara asing. Di Pakistan kami menyertakan seorang Pilot dari Pakistan Aiforce. Demikian pula pada saat melakukan demo flight di Australia selama lebih dari sebulan, Squadron Leader David Falls mejadi escort kami selama terbang di Australia. Demikian juga bebeara jenis pesawat terbang yang melakukan Demo Flight di Indonesia selalu menyertakan Safety pilot sebagai Pandu di Cockpit. Pada saat mengikuti demo Flight Airbus Militer A-400-M saya masih ingat Marsma Djamhari juga berada di Jumpseat, selain berhubungan dengan jabatan beliau sebagai Lambangja AU, beliau juga merupakan Pilot TNI AU yang mengetahui bukan saya area2 penerbangan tetapi juga prosedur2 komunikasi di Indonesia, sehingga Test Pilot benar2 terbantu oleh Safety Pilot. Demikian pula pada saat EADS melakukan Demo Flight C 295 di kebeberapa daerah di Teritori Indonesia, salah seorang Penerbang dari Skuadron 2 juga ditugaskan di cockpit sebagai Safety Pilot selain juga sekaligus menangani aspek security nya. Pengalaman dari berbagai demo flight yang lalu, yang umum terjadi, pada suatu demo flight satu atau beberapa customer pilot akan kami ajak ke cockpit. Kepada mereka akan kami perlihatkan beberapa aspek dan kecanggihan pesawat tersebut. Biasanaya kami akan mengoceh sambil mendemonstrasikan peralatan yang terpasang. Disinilah harus disadari bahwa dalam situasi tersebut, terjadilah apa yang sering disebut sebagai “Cockpit distractions” Gangguan di Cockpit yang mempengaruhi perhatian Pilot dalam operasi penerbangannya. Melihat pengalaman diatas maka makin terasa sangat pentingnya menyertakan seorang safety pilot dalam melakukan demo flight, terutama diarea dimana tidak terlalu familiar bagi kita. Demikianlah secuplik artikel mengenai Test Pilot dan Demo Flight.

Thursday, May 3, 2012

Kenangan Peristiwa Pemboman Allan Pope di Ambon

Walaupun sudah terjadi puluhan tahun yang lalu tepatnya th 1958, tetapi masih jelas sekali dalam ingatanku peristiwa yang sangat mengesankan itu. Saat itu adalah suatu hari Minggu siang di Ambon, banyak sekali masyarakat Ambon yang berduyun duyun pulang dari ber`ibadah Minggu di gereja masing masing. Aku sendiri sedang bermain bersama teman2 tetangga di rumah keluarga Sinai di Park Hotel Ambon ( belakangan disebut Hotel Anggrek ) Tiba2 tak tahu muncul darimana sebuah pesawat bermesin ganda, meraung sangat rendah diatas kami. Roby dan Dony Sinai kawanku spontan berteriak: " Oom Leo, Oom Leo " maksudnya adalah Penerbang andalan saat itu Leo Watimena yang kebetulan memang berasal dari Ambon. Sedangkan aku sendiri sudah merasa was was, karena beberapa hari sebelumnya ayahku, yang posisi nya saat itu adalah sebagai Komandan Detasemen Polisi Militer di Ambon menyampaikan briefing kepada kami sekeluarga. Kata bapak: " Kita harus waspada karena Permesta sudah menyerang Ternate, bukan tidak mungkin Ambonpun akan menjadi sasaran pemboman Permesta" Kita sekeluarga diminta waspada. Bilamana terlihat pesawat berwarna ke abu abuan tanpa tanda registrasi dan bendera, itu adalah Pesawat pembom Permesta. Kalian cari saja tempat perlindungan terdekat, selokan yang cukup dalam atau gundukan tanah,apa saja yang bisa digunaka untuk berlindung. Maka saat itupun aku mulai ketakutan karena pesawat berwarna abu2 itu tidak mempunyai tanda apapun. Bapakku yang saat itu baru saja kembali dari bermain tenis, sedang berganti baju, demikian melihat dari jendela kamar pesawat abu2 tersebut langsung meloncat keluar rumah dengan dada masih terbuka tanpa beralas kaki. Bapak kemudian berlarian di jalan raya sambil berteriak teriak pada mereka yang berduyun pulang dari Gereja " Berlindung, berlindung, berlindung....." Karena Bapak tidak memakai baju, dan alas kaki, orang2 banyak itu malah mencemooh sambil tertawa tawa. " Dorang so mabuk. dorang so mabuk hahahaha" dianggapnya Bapak sedang mabuk. Tetapi beberapa detik kemudian terdengar beberapa dentuman bom. Disusul dengan rentetan tembakan dari Pesawat tersebut. Maka berhamburan dan berlarianlah orang2 itu sambil berteriak2 " Tete manis, Tete manis " yang artinya " Ya Tuhan, Ya Tuhan" Itulah hari pertama terjadinya pemboman di kota Ambon oleh Permesta. Mereka berhasil manjatuhkan bom di instalasi tanki Minyak BPM di Pelabuhan Arang, juga beberapa kapal dilepas pantai pelabuhan Ambon Malam itu suasana benar2 mencekam, kami tidak berani menyalakan lampu, untuk menghindari sasaran pemboman malam hari. Kobaran api tampak di mana mana terutama dari tanki minyak yang dijatuhi Bom dan terbakar. Suasana di rumahpun sangat mencekam dipenuhi ketakutan, apalagi rumah kami di Jalan Batu Gajah itu berada tepat dibelakang Studio RRI Ambon yang konon merupakan juga obyek vital yang bukan mustahil menjadi incaran Permesta juga. Beberapa hari kemudian, diantara serangan serangan yang masih berlangsung kami sekeluarga mengungsi ke belakang asrama CPM dimana baru saja dilakukan penggalian, pembukaan ex gua Jepang, rupanya gua tersebut cukup dalam dan luas sehingga dapat menampung puluhan keluarga. Karena berisi ratusan orang, maka tentu saja sangat pengap. Tidak ada ventilasi yang cukup. Aku tidak betah berlindung disana, sehingga lebih banyak bermain bersama teman2ku diluar gua. Tentu saja ibuku seklalu melarang keluar, aku tetap bandel karena tidak tahan dengan suasana pengap dan bau lumut. Rupanya berlindung di gua tidak terlalu lama. Karena kami kemudian diperintahkan Bapak untuk berlindung di kampung saja, diluar kota Ambon, yaitu di daerah Lateri. Kami ditampung oleh Oom Hendrik, seorang warga Ambon yang beristrikan orang dari Jawa. Disini kami betah karena jauh dari obyek2 vital yang bisa saja jadi sasaran setiap waktu. Walaupun demikian Oom Hendrik dengan dibantu putranya Anis, berdua mereka menggali lubang didepan rumah yang nantinya bisa dipakai sebagai lubang perlindungan. Lubang sekitar 2X3X2 terbut kemudian dilapisi dengan balok balok kayu, batang2 pisang atap seng dan ditimbun tanah. Jadi setiap ada serangan kamipun serumah masuk kedalam lubang perlindungan buatan Oom Hendrik tersebut. Sedangkan Oom Hendrik sendiri biasanya tetap diluar lubang sambil merokok, mengawasi situasi katanya. Karena saat itu sebenarnya Bapak sudah akan dialih tugas ke Semarang, maka seluruh barang2 dirumah sudah kosong, sebagian besar sudah di lelang sebelum terjadinya serangan. Kami juga sebenarnya tinggal menunggu kesempatan tersedianya transport untuk berangkat ke Jakarta. Beberapa kali kami berangkat dari Lateri ke pangkalan Udara Laha ( Patimura ) tetapi ternyata berkali kali pesawat Dakota-DAUM batal datang karena dinilai tidak aman dengan resiko dihadang Permesta di Tengah Jalan. Suatu hari, kami mendengar pesawat meranung raung, kamipun berlarian ke lubang perlindungan. Anehnya kali ini kok ada 2 pesawat yang seperti berkejaran. Beberapa saat kemudian tersiar berita di Lateri bahwa Pesawat pembom B-26 Permesta telah tertembak oleh Mustang P-51 milik AURI dengan penerbang Kapten Dewanto. Tentu saja seluruh orang di Lateri sangat gembira, bersorak2 keluar dari perlindungan, tanpa peduli akan keselamatan masing2. Beberapa hari kemudian saat perpisahan pun tiba,malam2 kami berkendaraan Jeep Rusia GAZ menuju Laha, 2 (dua) pesawat Dakota sudah siap diberangkatkan, membawa kami sekeluarga dan beberapa keluarga lainnya ke Jakarta. Sekitar jam 2.00 dinihari dalam keadaan gelap gulita kami tinggal landas secara lose Formation 2 C47, lampu navigasipun bahkan tidak dinyalakan menghindari incaran Permesta. Pesawat Dakota kami dikemudikan oleh Kapt Pribadi. Pak Pribadi belakangan menjadi atasan saya di IPTN pada saat beliau menjabat Kepala Divisi Flight Test Operation. Saya pernah menyampaikan peristiwa ini kepada beliau, dan tentu saja beliau tidak ingat tapi bagi saya merupakan perjalanan yang sangat berkesan. Setelah menyinggahi Maumere di Flores dan Surabaya, sore itu kami sekeluarga mendarat di Cililitan dengan selamat. Tamatlah sudah pengalaman beberapa Minggu yang sangat mencekam. Beberapa bulan kemudian, kami mendapat berita sedih dari Ambon, Oom Hendrik meninggal dunia. Kami semua tentu saja sangat bersedih, Ibu bahkan berkomeentar: mungkin saja Oom Hendrik sakit karena kelelahan menggali lubang perlindungan untuk kami, sehingga penyakit Ginjalnya kumat dan menyebabkan meninggalnya. Selamat jalan Oom Hendrik jasamu tak ternilai.

Tuesday, April 21, 2009

CN-235 Phoenix, Australia program.

CN-235 Phoenix Project-Australia

Sekelumit kisah perjalanan misi promosi Flight Crew IPTN didalam usaha campaign/ promosi CN-235.

Pada tahun 1995 sekitar Pebruari IPTN diundang untuk melakukan demo flight CN-235 Military Version, sehubungan dengan rencana Pemerintah Australia untuk mereplace 2 squadron Caribou, yang dianggap telah aging ( Saat itu sudah sekitar 26 tahun on service).

Di IPTN ( PT DI ) pada saat itu tidak ada CN-235 Military Version yang available, seluruhnya telah dideliver ke UAE Airforce ( 6 pesawat?)

Maka diputuskan untuk me lease back dari UAE AF, satu CN-235 Military utk digunakan sebagai demonstrator sekaligus mengikuti Airshow Down under di AVALON 1995.

Pesawat UAE Berhasil di lease dengan syarat, dua personil ( Satu teknik dan satu Pilot ) UAE AF harus on board sebagai witness. Seingat saya untuk kedua personil UAE Mayor Jamal dan Mayor PNB Mudhafar, for some reason saat itu tdk bisa didapatkan security clearance bagi mereka berdua, utk memasuki military base di Australia

Ferry flight dari Abu Dhabi, kami lakukan, dengan pilot saya sendiri dan Erwin Danuwinata Alm, menempuh route Abu Dhabi-Bommbay- Calcuta- Bangkok-Bandung. Setelah melakukan beberapa penambahan di Bandung, seperti cargo rail dan beberapa peralataan lainnya, maka hanya dua hari setelah Lebaran kamipun mulai perjalanan.

Tujuan pertama adalah Darwin Airforce base dengan technical landing Denpasar. Saya masih ingat, untuk memberikan kesan bahwa CN-235 is simple to operate maka kami berangkat dengan minimum number onboard. 2 Pilot, 1 Flight test Engineer Prihatno Alm, 1 Mekanik, 1 QA inspector total 5 person on board. Ditambah 2 UAE-AF Officer yang sangat menikmati mission ini. Karena tidak mempunyai security clearance maka seusai Landing disetiap AF Base mereka dikawal oleh Provost keluar base utk Tamasya dan jumpa kami lagi just prior to Departure.

Logistic team IPTN berangkat terpisah dengan menggunakan airline, menuju Tulamarine Melbourne, stand by utk dispatch spare parts bilamana diperlukan di any point di Australia.

Presentation dan demo flight dilakukan di Darwin utk Salah satu Squadron Caribou yaitu “ Dingo Squadron”. Selama tiga hari beberapa Pilot berkesempatan untuk mencoba beberapa mission profile sesuai dengan mission yang biasa mereka lakukan. Termasuk diantaranya landing pada beberapa un-prepared runway, biasa mereka sebut BEEF TRACK, karena memang merupakan jalan berdebu biasa tdk didesign sebagai permanent Runway, hanya digunakan utk special mission.

Seluruh pilot DINGO yang menerbangkan merasa sangat puas dengan maneuverability maupun performance CN-235. Hal ini mungkin juga karena CN 235 merupakan “big jump” bagi mereka yang biasanya menerbangkan De Haviland Caribou yang Piston Engine, mendadak menerbangkan CN 235 yang Turbo Prop. Namun demikian dari hasil assessment, mereka cukup puas dengan STOL (Short Take Off Landing ) CN-235 yang ternyata bisa menyamai Caribou yang terkenal dengan STOL nya.

Meskipun ada beberapa saran/masukan perbaikan dan request dari mereka, seperti EYEBROW window, jendela diatas windshield yang akan memudahkan pilot dalam melakukan maneuver tajam seperti steep turn dan tactical mission lainnya. Kemudian juga hal seperti tangga yang embedded di pesawat utk membantu keperluan preflight. Semua coment dan input kami bawa pulang sebagai feed back bagi Engineering Dept di IPTN.

Pada umumnya mereka sangat puas dengan performance serta agility CN 235 bahkan boleh dikatakan jatuh cinta.

Setelah Darwin kami beralih ke Townsville yang juga merupakan salah satu Basenya Caribou.

Beberapa hari di Townsville kami lakukan kegiatan yang sama. Lebih banyak lagi dilakukan “Beeftrack” landing disekitar Townsville. Dan lebih banyak lagi pilot yang turut terbang “Mencicipi” CN 235 yang selama di Australia mendapat Operation Nickname “ PHOENIX”.

Bahkan PHOENIX sempat dipamerkan dalam acara OPEN HOUSE bagi penduduk sekitar Townsville.

Next destination adalah Amberley, salah satu Airforce Base di sekitar Brisbane, kegiatan yang sama dilakukan, tetapi disini lebih banyak discussion meliputi logistic support dari field level sampai Depot level, mereka benar2 detail dalam pernyiapan Logistic / Spare support sampai 25 years planningnya.

Di Amberley tdk terlalu banyak dilakukan flight, hanya beberapa flight itupun Joy flight bagi Project Staff Officer (Logistik dan teknik )

Dari Amberley kami menuju Richmond Airforce Base, di sekitar Sidney.

Di Richmond ini kami benar2 kerja keras karena Richmond base ini adalah pusatnya AMTDU ( Air Mobile Tactical Deployment Unit ) nya Australia, kalau di Indonesia mungkin setara dengan PERBEKUD

Selama hampir satu minggu RAAF melakukan assessment meliputi Vehicle loading Unloading, melalui Ramp Door. Agak menegangkan juga karena yg di loading adalah 6 wheels LAND ROVER yang cukup panjang sehingga kaca depan perlu direbahkan, untuk bisa loading ke dalam perut PHOENIX.

Selain itu dilakukan juga real Cargo Drop dari mulai yang terkecil A-22, sampai Heavy Cargo, bahkan dilakukan juga LAPES ( Low Altitude Parachute Extraction System ) dimana kami terbang hanya sekita2 satu meter AGL kemudian load direlease dengan Drog Chute dan kemudian Extraction Chute.

Juga dilakukan Static jump utk Army, kemudian beberapa sorties freefall utk Special Force yang dilakukan di NAVY Base, Nowra.

Puas dengan seluruh type of mission kamipun kemudian menuju Canbera, utk dilakukan assessment oleh para Project Office Staff dari seluruh aspect operational, support bahkan financialnya. Diskusi disisi cukup alot karena mereka juga sekaligus mengumpulkan bahan untuk menyusun TECH SPEC yang akan digunakan sebagai Biding Requirement/ Tender.

Saingan pada waktu itu adalah G-27 (ex 222?) ALENIA Italy yang pada saat itu sebenarnya pabriknya sdh tdk exist, menanti uluran tangan salah satu perusahaan Amerika untuk take over, selain kelas pesawatnyapun terlalu besar utk Caribou replacement.

Dari Canberra kami kemudian menuju AVALON, Melbourne untuk mengikuti Airshow selama sekitar satu Minggu.

Avalon mempunyai karakteristik Runway yang agak aneh, entah bagaimana sejarah designya dulu karena hampir selalu mengalami cross wind most of the time.

Sangat membanggakan saat itu karena pada Airshow tersebut setiap kami melakukan Dynamic display, selalu di announce bahwa PHOENIX adalah salah satu calon pengganti Caribou, menambah optimisme kami untuk bisa memenangkan tender 2 Squadron PHOENIX.

Namun demikian kami sempat pula ditegur oleh Airshow Flight Director, pada saat melakukan Dynamic Airshow, Erwin Alm saat itu terbang sangat bersemangat, pada saat atraksi wing over 120 derajat, kami level off recovery dibawah 500 feet. Sehingga tegurannya cukup keras dan komentarnya “ That was very attractive, however, you guys were not in a fighter aircraft so you don’t have to go over the top” kami hanya tersipu2 mendapat teguran tsb, walaupun public sebenarnya sangat impressed.

Kamipun sempat mengalami pecah ban pada hari pertama show, mungkin kami terlalu excited pada hari pembukaan tersebut. Untuk membuat lebih impressed kami lakukan short landing sependek2nya tapi dng cross wind yang cukup besar un even landing membuat ban pecah pada saat braking. Thanks God kami punya teman2 logistic yang memang stand by dng spare di Tulamarine sehingga kondisi segera diatasi.

DI Avalon kami sempat bertemu beberapa pengambil keputusan ditingkat kementerian yang menyatakan malu kepada Indonesia yang mampu membuat pesawat semacam PHOENIX tsb. Sementara Australia belum punya produk lain selain kelas NOMAD.

Bahkan beberapa opposition leader seperti Shadow minister of Labour? , yang konon terkenal keras, berkomentar sangat positif bahwa beliau pribadi akan mensupport program PHOENIX. Dan tentu saja Airforce Chief of Staff ( Marshal Fischer? ) termasuk yang sangat tertarik dng ability CN-235 PHOENIX .

Seusai Airshow, tugas kami belum selesai karena masih ada lagi assessment teknis yang akan dilakukan oleh Australian ARDU ( Air Research and Development Unit ) di Edinburgh- Adelaide.

Selama beberapa hari ARDU dengan test pilot Dutchy Holland dan Robin Wiiliams melakukan Assessment secara TEKNIS dalam aspect Performance, Handling quality, Mission system, termasuk NVG Demonstration disekitar lembah2 Adelaide. Memang pesawat UAE yang kami gunakan sdh NVG Compatible untuk Gen III. Sehingga beberapa kali kami melakukan night Mission under NVG Gen III sampai jam 1 pagi.

Setelah 4 hari di ARDU Facility, kami bertolak pulang ke Bandung melalui Alice Spring, Darwin dan Denpasar, mengakhiri PHOENIX mission kami selama lk 5 Minggu di Australia.

Pada tahun 1997 kami kembali mengikuti kembali Avalon airshow, tetapi itu semua ternyata terasa useless karena IPTN menyatakan pull out dari PHOENIX program. Memang saat itu kami merasa sangat kecewa. Mengingat di Bandung pun teman2 sdh sudah mulai melakukan development program untuk meng improved CN-235 menjadi versi-330 PHOENIX.

Tapi apa mau dikata jangankan IPTN, negarapun saat itu berada dalam survival mode, dimana memang banyak perlu dikorbankan untuk dapat survive. Tetapi kami masih boleh bangga, karena selanjutnya IPTN yang kemudian dalam era pemerintahan Gus Dur berubah menjadi PT Dirgantara Indonesia.

Berhasil keluar dari kemelut dengan berhasil mendeliver CN-235 -220 ke Malaysia, Korea, bahkan Pakistan Airforce yang tdk sedikit jumlahnya. Demikianlah ternyata tidak pernah ada pengorbanan yang sia2. PHOENIX Project tdk pernah terwujud tetapi project2 lain berhasil diraih termasuk 4 pesawat utk Korean Coast Guard pada th 2008 yl

Demikianlah sekelumit perjalanan dalam usaha menduniakan CN-235