Thursday, May 3, 2012
Kenangan Peristiwa Pemboman Allan Pope di Ambon
Walaupun sudah terjadi puluhan tahun yang lalu tepatnya th 1958, tetapi masih jelas sekali dalam ingatanku peristiwa yang sangat mengesankan itu.
Saat itu adalah suatu hari Minggu siang di Ambon, banyak sekali masyarakat Ambon yang berduyun duyun pulang dari ber`ibadah Minggu di gereja masing masing. Aku sendiri sedang bermain bersama teman2 tetangga di rumah keluarga Sinai di Park Hotel Ambon ( belakangan disebut Hotel Anggrek )
Tiba2 tak tahu muncul darimana sebuah pesawat bermesin ganda, meraung sangat rendah diatas kami. Roby dan Dony Sinai kawanku spontan berteriak: " Oom Leo, Oom Leo " maksudnya adalah Penerbang andalan saat itu Leo Watimena yang kebetulan memang berasal dari Ambon. Sedangkan aku sendiri sudah merasa was was, karena beberapa hari sebelumnya ayahku, yang posisi nya saat itu adalah sebagai Komandan Detasemen Polisi Militer di Ambon menyampaikan briefing kepada kami sekeluarga. Kata bapak: " Kita harus waspada karena Permesta sudah menyerang Ternate, bukan tidak mungkin Ambonpun akan menjadi sasaran pemboman Permesta" Kita sekeluarga diminta waspada. Bilamana terlihat pesawat berwarna ke abu abuan tanpa tanda registrasi dan bendera, itu adalah Pesawat pembom Permesta. Kalian cari saja tempat perlindungan terdekat, selokan yang cukup dalam atau gundukan tanah,apa saja yang bisa digunaka untuk berlindung. Maka saat itupun aku mulai ketakutan karena pesawat berwarna abu2 itu tidak mempunyai tanda apapun.
Bapakku yang saat itu baru saja kembali dari bermain tenis, sedang berganti baju, demikian melihat dari jendela kamar pesawat abu2 tersebut langsung meloncat keluar rumah dengan dada masih terbuka tanpa beralas kaki. Bapak kemudian berlarian di jalan raya sambil berteriak teriak pada mereka yang berduyun pulang dari Gereja " Berlindung, berlindung, berlindung....." Karena Bapak tidak memakai baju, dan alas kaki, orang2 banyak itu malah mencemooh sambil tertawa tawa. " Dorang so mabuk. dorang so mabuk hahahaha" dianggapnya Bapak sedang mabuk. Tetapi beberapa detik kemudian terdengar beberapa dentuman bom. Disusul dengan rentetan tembakan dari Pesawat tersebut. Maka berhamburan dan berlarianlah orang2 itu sambil berteriak2 " Tete manis, Tete manis " yang artinya " Ya Tuhan, Ya Tuhan"
Itulah hari pertama terjadinya pemboman di kota Ambon oleh Permesta. Mereka berhasil manjatuhkan bom di instalasi tanki Minyak BPM di Pelabuhan Arang, juga beberapa kapal dilepas pantai pelabuhan Ambon
Malam itu suasana benar2 mencekam, kami tidak berani menyalakan lampu, untuk menghindari sasaran pemboman malam hari.
Kobaran api tampak di mana mana terutama dari tanki minyak yang dijatuhi Bom dan terbakar.
Suasana di rumahpun sangat mencekam dipenuhi ketakutan, apalagi rumah kami di Jalan Batu Gajah itu berada tepat dibelakang Studio RRI Ambon yang konon merupakan juga obyek vital yang bukan mustahil menjadi incaran Permesta juga.
Beberapa hari kemudian, diantara serangan serangan yang masih berlangsung kami sekeluarga mengungsi ke belakang asrama CPM dimana baru saja dilakukan penggalian, pembukaan ex gua Jepang, rupanya gua tersebut cukup dalam dan luas sehingga dapat menampung puluhan keluarga. Karena berisi ratusan orang, maka tentu saja sangat pengap. Tidak ada ventilasi yang cukup. Aku tidak betah berlindung disana, sehingga lebih banyak bermain bersama teman2ku diluar gua. Tentu saja ibuku seklalu melarang keluar, aku tetap bandel karena tidak tahan dengan suasana pengap dan bau lumut. Rupanya berlindung di gua tidak terlalu lama. Karena kami kemudian diperintahkan Bapak untuk berlindung di kampung saja, diluar kota Ambon, yaitu di daerah Lateri. Kami ditampung oleh Oom Hendrik, seorang warga Ambon yang beristrikan orang dari Jawa. Disini kami betah karena jauh dari obyek2 vital yang bisa saja jadi sasaran setiap waktu. Walaupun demikian Oom Hendrik dengan dibantu putranya Anis, berdua mereka menggali lubang didepan rumah yang nantinya bisa dipakai sebagai lubang perlindungan. Lubang sekitar 2X3X2 terbut kemudian dilapisi dengan balok balok kayu, batang2 pisang atap seng dan ditimbun tanah. Jadi setiap ada serangan kamipun serumah masuk kedalam lubang perlindungan buatan Oom Hendrik tersebut. Sedangkan Oom Hendrik sendiri biasanya tetap diluar lubang sambil merokok, mengawasi situasi katanya.
Karena saat itu sebenarnya Bapak sudah akan dialih tugas ke Semarang, maka seluruh barang2 dirumah sudah kosong, sebagian besar sudah di lelang sebelum terjadinya serangan. Kami juga sebenarnya tinggal menunggu kesempatan tersedianya transport untuk berangkat ke Jakarta. Beberapa kali kami berangkat dari Lateri ke pangkalan Udara Laha ( Patimura ) tetapi ternyata berkali kali pesawat Dakota-DAUM batal datang karena dinilai tidak aman dengan resiko dihadang Permesta di Tengah Jalan.
Suatu hari, kami mendengar pesawat meranung raung, kamipun berlarian ke lubang perlindungan. Anehnya kali ini kok ada 2 pesawat yang seperti berkejaran. Beberapa saat kemudian tersiar berita di Lateri bahwa Pesawat pembom B-26 Permesta telah tertembak oleh Mustang P-51 milik AURI dengan penerbang Kapten Dewanto. Tentu saja seluruh orang di Lateri sangat gembira, bersorak2 keluar dari perlindungan, tanpa peduli akan keselamatan masing2.
Beberapa hari kemudian saat perpisahan pun tiba,malam2 kami berkendaraan Jeep Rusia GAZ menuju Laha, 2 (dua) pesawat Dakota sudah siap diberangkatkan, membawa kami sekeluarga dan beberapa keluarga lainnya ke Jakarta. Sekitar jam 2.00 dinihari dalam keadaan gelap gulita kami tinggal landas secara lose Formation 2 C47, lampu navigasipun bahkan tidak dinyalakan menghindari incaran Permesta. Pesawat Dakota kami dikemudikan oleh Kapt Pribadi. Pak Pribadi belakangan menjadi atasan saya di IPTN pada saat beliau menjabat Kepala Divisi Flight Test Operation. Saya pernah menyampaikan peristiwa ini kepada beliau, dan tentu saja beliau tidak ingat tapi bagi saya merupakan perjalanan yang sangat berkesan. Setelah menyinggahi Maumere di Flores dan Surabaya, sore itu kami sekeluarga mendarat di Cililitan dengan selamat. Tamatlah sudah pengalaman beberapa Minggu yang sangat mencekam. Beberapa bulan kemudian, kami mendapat berita sedih dari Ambon, Oom Hendrik meninggal dunia. Kami semua tentu saja sangat bersedih, Ibu bahkan berkomeentar: mungkin saja Oom Hendrik sakit karena kelelahan menggali lubang perlindungan untuk kami, sehingga penyakit Ginjalnya kumat dan menyebabkan meninggalnya. Selamat jalan Oom Hendrik jasamu tak ternilai.