Jakarta, 16 Juli 2008
European Union ban terhadap seluruh air operator Indonesia, masih saja menjadi topic utama perbincangan didalam komunitas aviation di Indonesia. Baik para pelaku business aviation, maupun dikalangan authority, regulator.
Banyak komentar dari para pejabat maupun beberapa politician yang mencoba menghubung hubungkan masalah ban EU dengan issue politik, ekonomi dan sebagainya. Diantaranya ada yang menghubungkan masalah ini dengan kepentingan business Aviation Industry Eropa, khususnya Airbus Industry sebab Indonesia dianggap lebih berpihak pada kubu Amerika, khususnya Boeing Company. Bahkan ada salah seorang pejabat yang mengatakan, bahwa ban ini sebenarnya hanya diprakarsai oleh Authority Jerman yang merasa jengkel kepada authority Indonesia, dalam kasus pemberian registrasi sipil kepada beberapa Helicopter ex Militer Jerman yang diimport ke Indonesia tanpa melalui formal Validation, termasuk tentunya export C of A dari negeri pengexport.
Banyak diantara para pejabat kita yang mencoba mencari solusi berupa approach secara politik/diplomatik.
Pada saat menjatuhkan sanksi ban terhadap Indonesia, EU ataupun EASA sebenarnya belum pernah melakukan kegiatan safety audit secara langsung terhadap kegiatan penerbangan di Indonesia, namun demikian EU lebih banyak telah menggunakan temuan2 dari audit yang dilakukan oleh ICAO maupun FAA beberapa waktu sebelumnya.
Jadi seyogyanya, untuk membebaskan Indonesia dari ban yang diberlakukan, tidak terlalu cepat kita mengalihkan persoalan yang melatar belakangi ban ini ke aspek politik, ekonomi.
Yang diharapkan oleh EU sebenarnya, response secara teknis dari finding2 mereka yang dituangkan kedalam Corrective Action Plan. CAP yang memuat apa, bagaimana dan kapan finding2 ini di penuhi. Issue yang menjadi alasan
Setelah semua ini dipenuhi, maka saat itulah kita pantas duduk semeja untuk membahas pencabutan ban. Jadi selama finding atau temuan masih belum closed, sangat kecil harapan bagi Indonesia untuk memaksa EU untukmencabut ban. Permasalahan yang dikemukakan oleh EU, kelihatannya tidak substantial, misalnya keterlambatan pengiriman dokumen dsb, namun demikian "Corectness/ seriousness " dalam managemen administrasi pun masuk dalam point penilaian mereka. Contoh sederhana saja, dokumen jawaban/response dari DGCA Indonesia, telah dikirimkan melalui e-mail bahkan bukan memalui email provider yang formal melainkan "Yahoo" yang selain tidak representative untuk sebuah lembaga resmi pemerintah, juga sangat
rawan dalam masalah securitynya. Ini salah satu cermin yang merefleksikan ketidak seriusan suatu lembaga pemerintah dalam membina infra structure-nya
Problem ini sekarang bukan lagi hanya merupakan problem antara DGCA dan EU/ EASA, melainkan telah menjadi problem bangsa Indonesia.
Sehingga sudah waktunya kita menggalang kekuatan dengan segala usaha dan daya untuk memenuhi persyaratan2 EU.
Main goalnya adalah, airline/air operator Indonesia kembali dapat mengepakan sayap di atas Eropa ataupun dimana saja diseluruh dunia ini. Tentunya dengan pemenuhan standard Aviation Safety yang di akui secara international/ ICAO dan FAA maupun EASA.
Bukan waktunya lagi bagi kita untuk "blaming each other"
Ever onward never retreat Pak Budi!